Monday, July 30, 2007

Islam dan Negara Sekular

Sinopsis Buku: Islam dan Negara Sekular (Menegosiasikan Masa Depan Syariah)

Syariah pasti memiliki masa depan yang cerah dalam kehidupan
publik masyarakat Islam karena dapat berperan dalam menyiapkan anak-
anak untuk hidup bermasyarakat, membina lembaga, dan berhubungan
sosial. Syariah akan terus memainkan peran penting dalam membentuk
dan mengembangkan norma-norma dan nilai-nilai etika yang dapat
direfleksikan dalam perundangan-perundangan dan kebijakan publik
melalui proses politik yang demokratis. Namun, An-Na’im berpendapat
bahwa prinsip-prinsip atau aturan-aturan syariah tidak dapat
diberlakukan dan diterapkan secara formal oleh negara sebagai hukum
dan kebijakan publik dengan alasan bahwa prinsip-prinsip dan aturan-
aturan itu merupakan bagian dari syariah. Apabila pemberlakuan
syariah seperti itu diusahakan, hal itu merupakan kehendak politik
negara dan bukan hukum Islam.

Intinya, negara haruslah bersikap netral terhadap doktrin atau
prinsip agama mana pun. Netralitas di sini tidak berarti negara
secara sengaja memojokkan peran agama ke bilik-bilik sempit
kehidupan privat, melainkan semata-mata demi menjamin kebebasan
setiap individu untuk mendukung, berkeberatan, atau memodifikasi
setiap penafsiran manusia atas doktrin atau prinsip-prinsip agama.
Karenanya, An-Na’im, dalam karya penting ini, mengadvokasikan prinsip
pemisahan kelembagaan antara Islam dan negara, namun dengan tetap
mempertahankan hubungan antara Islam dan politik, melalui apa yang
disebutnya sebagai public reason. Prinsip ini memungkinkan penerapan
prinsip-prinsip syariah dalam kebijakan publik secara legitimate,
namun tetap tunduk kepada prinsip-prinsip ketatanegaraan yang
berlaku, serta menjamin kesetaraan hak setiap warga negara tanpa
membedakan agama, ras, suku, gender, dan ideologi politik.

Dalam konteks ini, An-Na’im berada pada posisi jalan tengah dalam
debat antara penerapan total dan penolakan membabi-buta terhadap
aplikasi syariah dalam kehidupan publik.

Tentang Penulis:
Abdullahi Ahmed An-Na’im adalah pemikir Muslim terkemuka asal
Sudan. Dia dikenal luas sebagai pakar Islam dan HAM, dalam perspektif
lintas budaya. Penelitiannya mencakup isu-isu ketatanegaraan di
negeri-negeri Islam dan Afrika, di samping isu-isu tentang Islam dan
politik. An-Na’im juga menekuni riset-riset lain yang difokuskan pada
advokasi strategi reformasi melalui tranformasi budaya internal.
Riset-riset advokasi yang telah dan baru saja dirampungkannya antara
lain: Perempuan dan Tanah di Afrika, Hukum Keluarga Islam, Islam dan
HAM, dan Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah.
Karyanya yang terakhir ini diterbitkan ke dalam beberapa bahasa, di
antaranya Indonesia, Persia, Urdu, Bengali, Turki, Rusia, dan
Inggris. Edisi Bahasa Inggris karya riset ini akan diterbitkan oleh
Harvard University Press awal tahun 2008. Saat ini An-Na’im bekerja
sebagai Profesor Charles Howard Candler di bidang Hukum di Emory Law
School, Atlanta, Amerika Serikat.

Sumber: http://groups.yahoo.com/group/insistnet/message/8009

Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islam

Resensi Buku

Judul :Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islam
Editor: Susilaningsih dan Agus M. Nadjib
Penerbit: Kerjasama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan IAIN Indonesia Social Equity Project

Buku ini menyampaikan hasil penelitian tentang Baseline and Institutional Analysis untuk pengarus-utamaan gender di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang dilak-sanakan dari akhir tahun 2002 sampai dengan pertengahan 2003, atas kerjasama antara Departemen Agama dengan McGill IAIN Indonesia Social Equity Project (IISEP). Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk mendapatkan potret tentang kondisi obyektif IAIN Sunan Kalijaga dilihat
dari perspektif gender, serta potensi-potensi yang dapat mendukung terbangunnya kesetaraan gender. Selanjutnya hasil dari penelitian tersebut akan dijadikan dasar bagi penyusunan strategi gender mainstreaming pada kampus tersebut. Diharapkan penerapan strategi ini akan dapat menjawab tantangan birokrasi dalam membangun kesetaraan gender ketika sekarang lembaga pendidikan tinggi ini telah menjadi UIN Sunan Kalijaga.

Buku ini terdiri dari lima bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang membahas latar belakang mengapa buku yang berasal dari penelitian ini ditulis serta kerangka teori dan metode penelitian yang digunakan. Dengan menggunakan kerangka teori “organisasi peka gender,” tulisan ini berusaha melihat apakah IAIN Sunan Kalijaga sebagai sebuah institusi sudah mengarah untuk menjadi institusi yang peka gender. Sebelum melihat kondisi SDM, kebijakan manajerial, dan kondisi akademik di IAIN Sunan Kalijaga yang dilihat dari perspektif gender yang dikemukakan pada bab ketiga dan keempat, pada bab kedua diuraikan terlebih dahulu tinjauan umum tentang IAIN Sunan Kalijaga. Pada bab kedua ini dikemukakan visi, misi, dan tujuan IAIN Sunan Kalijaga, fakultas-fakultas serta jurusan dan program studinya, dan lembaga-lembaga yang ada, serta rencana pengembangan IAIN Sunan Kalijaga ke depan untuk menjadi UIN yang sekarang ini.

Pada bab ketiga dipaparkan kondisi SDM IAIN Sunan Kalijaga, baik kondisi dosen, karyawan, pejabat, dan mahasiswa, serta diuraikan pula kebijakan-kebijakan IAIN yang berkaitan dengan rekruitment dan peningkatan SDM trsebut yang dilihat dari perspektif gender. Kemudian diuraikan juga secara khusus sejauh mana kebijakan dan dukungan lembaga tersebut dalam upaya peningkatan kesadaran gender bagi civitas akademikanya. Kebijakan-kebijakan IAIN Sunan Kalijaga yang berkaitan dengan peningkatan kesadaran gender tersebut berimplikasi pada kondisi akademiknya yang akan diuraikan pada bab keempat. Pada bab ini dibahas mengenai kurikulum dan proses pembelajaran yang ada di IAIN Sunan Kalijaga yang dilihat dari perspektif gender. Kemudian buku ini diakhiri dengan penutup pada bab kelima yang berisi kesimpulan dan rekomendasi.

Sumber: http://www.ditpertais.net/buku03.asp

RESENSI BUKU TUANKU RAO

“PRAHARA DI TANAH BATAK”

Judul Buku: Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao. Teror Agama Islam Mazhab Hambali Di Tanah Batak.
Penulis: Mangaradja Onggang Parlindungan
Editor: Ahmad Fikri A.F.
Penerbit: LKiS, Jogjakarta
Cetakan I, Juni 2007
Isi buku: iv + 691 halaman-Hardcover
Harga: Rp 135.000
“Tak ada fakta, yang ada hanyalah tafsir,” begitu kata Nietzsche berkenaan dengan masalah kebenaran dan pengetahuan. Katakata itu tampaknya berlaku juga untuk sejarah, sebab sejarah erat kaitannya dengan serpihan-serpihan kebenaran dan pengetahuan, yang supaya bermakna perlu ditata dan ditafsir kembali. Karena itu, sejarah juga merupakan tafsir, dan sebuah tafsir bukanlah segumpal kebenaran mutlak. Ia baru merupakan upaya untuk mendekati kebenaran.
Buku Tuanku Rao karya M.O. Parlindungan ini merupakan salah satu upaya menggali dan menafsirkan kembali serpihan-serpihan pengalaman masa lalu itu, terutama yang terkait dengan Perang Paderi. Melalui buku ini, penulis mengajak kita mengunjungi kembali ke masa lalu Tanah Batak secara gamblang dengan berupaya memahami proses-proses yang terjadi di balik teror kekerasan penyebaran agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak pada 1816-1833.
Berbeda dengan sejarawan lain, penulis memilih untuk menuliskan sejarah Batak dengan gaya bertutur (story telling style), yang semula memang ditujukan kepada anak-anaknya. Di sinilah sesungguhnya letak daya tarik buku ini. Ia muncul orisinal karena fokusnya lebih diletakkan pada praktik penciptaan sejarah Batak itu sendiri ketimbang menjajarkan peristiwa-peristiwa kesejarahan naratif seperti praktik sejarawan konvensional selama ini.
Menurut penulis, setidaknya ada dua alasan mengapa penyerbuan ke Tanah Batak tersebut dilakukan dengan kekerasan. Selain menyebarkan Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, penyerbuan itu juga dipicu oleh dendam keturunan marga Siregar terhadap Raja Oloan Sorba Dibanua, dinasti Singamangaraja, yang pernah mengusirnya dari Tanah Batak. Togar Natigor Siregar, pemimpin marga Siregar, pun sampai mengucapkan sumpah yang diikuti seluruh marga Siregar, akan kembali ke Batak untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.
Agama Islam Mazhab Hambali yang masuk ke Mandailing dinamakan penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol, meski dipimpin orang-orang Batak sendiri, seperti Pongkinangolngolan Sinambela (Tuanku Rao), Idris Nasution (Tuanku Nelo), dan Jatengger Siregar (Tuanku Ali Sakti). Dalam silsilah yang terlampir di buku ini, disebutkan bahwa Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Gana Sinambela (putri Singamangaraja IX) dengan pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela (adik Singamangaraja IX). Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah putra Singamangaraja VIII, sedangkan Gana Sinambela adalah kakak Singamangaraja X. Walaupun terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi dan memanjakan keponakannya (hlm. 355).
Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh tiga orang Datu (tokoh spiritual) yang dipimpin Datu Amantagor Manurung. Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati kepada keponakan yang disayanginya dengan menenggelamkandi Danau Toba. Tapi, bukannya mati tenggelam, Pongkinangolngolan terselamatkan arus hingga mencapai Sungai Asahan dan ditolong seorang nelayan bernama Lintong Marpaung. Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan memutuskan pergi ke Minangkabau karena takut dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak.
Di Minangkabau, pada 1804, Pongkinangolngolan diislamkan oleh Tuanku Nan Renceh, lalu dikirim ke Makkah dan Syria serta sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan kavaleri Janitsar Turki. Sekembalinya, pada 1815, Pongkinangolngolan diangkat menjadi perwira tentara Paderi dan mendapat gelar Tuanku Rao.
Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah Batak. Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadan 1231 H (1816 M) terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan Marga Lubis. Muarasipongi berhasil diluluhlantakkan dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorang pun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukan guna penyebaran agama Islam Mazhab Hambali.
Setelah itu, penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara dilaksanakan 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang untuk memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X. Jatengger Siregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang tanding satu lawan satu. Singamangaraja kalah dan kepalanya dipenggal pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah dendam yang tersimpan selama 26 generasi.
Penyerbuan pasukan Paderi terhenti pada 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara Paderi yang memasuki Tanah Batak pada 1818, hanya tersisa sekitar 30.000orang. Sebagian terbesar bukan tewas di medan pertempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit. Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, pada 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengislaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Sementara itu, Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak untuk menghadang masuknya tentara Belanda. Akhirnya, Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air Bangis pada 5 September 1821, sedangkan Tuanku Lelo tewas dipenggal kepalanya, sedangkan tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya.
Akhirnya, buku yang terbagi dalam tiga bagian besar dan berisi 34 lampiran ini jelas memiliki tempat khusus di dalam penulisan sejarah berdasarkan fakta dan representasi historiografi sebagai interpretasi yang tidak mutlak.
Penulis telah menunjukkan adanya kekuatan pada naskah tertulis dalam merekonstruksi visi sejarah Batak bagi perkembangan politik, sosial, dan budaya. Tak dapat disangkal, kontribusi utama buku ini terletak pada temuannya atas faktor lain di luar domain historiografi konvensional. Hal itu jelas akan berdampak luas dalam perdebatan mengenai historiografi Indonesia. (*)

Oleh: TASYRIQ HIFZHILLAH Peminat sejarah asal Probolinggo, bergiat di Lembaga Studi Pembebasan (LSP), Jogjakarta.
Sumber: Kiriman dari AHMAD ALI AFANDI (DI JAWA POS, MINGGU, 24 JUNI 2007)

Sunday, July 29, 2007

Indonesia termasuk 5 Negara dengan Konsumsi Rokok Terbesar di Dunia

Sekitar 4,9 juta orang di negara berkembang meninggal dunia karena rokok pada tahun 2003. Bahkan di seluruh dunia, tingkat kematian akibat rokok justru lebih besar ketimbang kematian karena malaria, kematian maternal, penyakit-penyakit yang sering menyerang anak-anak dan tuberculosis. Maka dari itu, para ahli kesehatan dunia memperkirakan tahun 2030 sekitar 10 juta orang mati akibat rokok dan 70 persen terjadi di negara berkembang.
Demikian dikemukakan dr Nawi Ng MPH, PhD dari Quit Tobacco Indonesia (QTI) dalam seminar ‘Update of Tobacco Control Research in Indonesia’ di Ruang Pertemuan Utama Lantai 4 Gedung Diklat RSUP Dr Sardjito, Rabu (25/7).
Seminar yang dibuka Dekan Fakultas Kedokteran (FK) UGM Prof Dr dr Hardyanto Soebono ini diselenggarakan QTI Center for Biothics and Medical Humanities & Center of Health Behavior and Promotion FK-UGM.
Menurut Nawi, Indonesia termasuk 5 negara dengan konsumsi rokok terbesar di dunia. Konsumsi tembakau di Indonesia meningkat 7 kali lipat dalam jangka waktu 3 tahun (1977-2000) dan prevalensi penggunaan tembakau di Indonesia telah meningkat dalam segala usia.
“Rata-rata usia merokok pertama kali di Indonesia semakin lama bergeser ke usia semakin muda,” ujarnya.
Selain itu, di Indonesia beban morbiditas tembakau juga tinggi. Nawi juga menunjukkan hasil data studi awal, sekitar 21 persen dokter laki-laki dan 1 persen dokter perempuan saat ini merokok. Prevalensi perokok di kalangan mahasiswa kedokteran laki-laki dan perempuan sebesar 17 persen dan 0,7 persen.
“Sebagai besar dokter atau 80 persen percaya merokok 10 batang per hari tidak berbahaya bagi kesehatan,” imbuhnya.
Lebih jauh ia mengungkapkan, hanya 28 persen dokter yang bertanya mengenai perilaku merokok kepada pasien mereka secara rutin. Di mana dokter perempuan lebih sering bertanya mengenai perilaku merokok pasien. Hanya 35 persen dokter yang secara rutin menasehati pasien mereka untuk berhenti merokok. Hanya sedikit dokter yang merasa memiliki kesulitan dalam melatih ataupun berpengalaman dalam membantu orang untuk berhenti merokok.
“Dokter Puskesmas menunjukkan ketertarikan paling besar dalam menerima pelatihan dalam konseling untuk membantu orang akan berhenti merokok,” ujar Nawi Ng.
Menjawab pertanyaan bagaimana menghilangkan budaya merokok Direktur Eksekutif QTI FK-UGM Dra Yayi Suryo Prabandari MSi, PhD mengatakan, perlu melibatkan ibu-ibu rumahtangga dan anak-anak agar sumai atau ayah tidak merokok di dalam rumah. Untuk menghilangkan budaya merokok memang harus dimulai dari dalam keluarga dengan menyertakan anak-anak untuk mengingatkan ayah atau ibu tidak merokok.
“Sebab perokok pasif sama bahayanya dengan perokok aktif, apalagi bagi anak-anak karena dalam tembakau itu mengandung berbagai zat beracun. Seperti terdapat 4.000 zat kimia, 40 zat lainnya dan menimbulkan 40 jenis penyakit kanker,” ujar Prof dr Barmawi Hisyam SpPD(K).
Dari hasil penelitian Yayi Suryo di Yogyakarta, iklan rokok dan perilaku merokok berhubungan secara signifikan dengan perilaku merokok di kalangan remaja SMP dan SMA di Kota Yogyakarta. Insidensi perokok pada pria di kalangan remaja lebih tinggi daripada yang ditemukan pada perenpuan. Perokok pria coba-coba dan regular 30 persen dan 31 persen, sementara pada perempuan 10 persen dan 3 persen.
“Secara terpisah perilaku merokok berhubungan dengan adanya teman yang merokok. Dalam analisis multivariate ditemukan jenis kelamin, jumlah uang saku dan tawaran rokok,” ujar Dra Yayi Suryo Prabandari MSi, PhD. (Humas UGM)

Sumber: http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=839

Friday, July 27, 2007

PEMBANGUNAN KEMBALI ISTANO BASA PAGARUYUNG

PEMBANGUNAN KEMBALI ISTANO BASA PAGARUYUNG

Pada tanggal 8 JUli 2007 telah berlangsung dengan meriah upacara batagak tunggak tuo, istano basa Pagaruyung di Batu Sangkar, meskipun tunggak tuo, yang telah di tepung tawari, telah di semayamkan dan di sembelihkan kerbau,sempat tergolek, ketika di tegakkan beramai-ramai.

Istano itu sebagai simbol, open air museum bagi masyarakat MInangkabau, milik pemerintah daerah Sumatera Barat, yang terletak di Padang Siminyak-kecamatan Tanjung Emas, kabupaten Tanah Datar, adalah salah satu primadona obyek wisata kita.

Sebagaimana hal nya obyek wisata budaya, tentu saja yang menjadi sasaran wisatawan adalah budayanya, karena bila budayanya di tonjolkan, maka pariwisatanya akan menyusul maju. Sebab, obyek point pariwisata itu adalah berbahan baku budaya. Maka, bila kita perhatikan dalam pembangunan kembali Istana Pagaruyung, melalui maket Pembangunan Kembali obyek wisata itu, dalam Pameran pada salah satu stand pada upacara batagak tunggak tuo, dan kepanityaannya, mungkin saja, sumbang saran para pelaku budaya kita di zaman lampau atau para pelaku wisata kita sekarang , kurang terakomodir.



Kita berani mengatakan hal ini kepada bapak Gubernur, sebab, kalau kita perhatikan Undang-undang Kepariwisataan tahun 1990 dan juklaknya, maka bagaimanapun, dalam membangun kembali Istana Pagaruyung, tentu saja para pelaku Pariwisata kita sebaiknya di bawa serta, karena merekalah nanti yang akan menjadi motor penggerak arus wisatawan ke Sumatera Barat.

Pertanyaannya, adakah hal ini termasuk sebagai salah satu bahan pertimbangan bagi bapak Gubernur?
Beberapa contoh dapat kita kemukakan, Dinas Pariwisata kita sebagai perpanjangan tangan dari Bapak Gubernur, boleh-boleh saja sebagai fasilitator dalam memajukan berbagai obyek wisata kita menurut seleranya, namun pihak API, ASITA, dan para anggotanya yang menjual paket wisata ini, bisa saja mengalihkan rute dan arus wisatawan, selama tidak ada aturan yang baku serta hubungan emosional yang saling menunjang di lapanan dengan masyarakat pelaku wisata sekitar obyek itu, sehingga konsep kepariwisataan kita selama ini terkesan berjalan sendiri-sendiri.

Oleh karena itu, kita ingin mengusulkan kepada bapak GUbernur, bahwa dalam konsepsi pembangunan Istana Pagaruyung sebagai primadona-obyek wisata budaya kita di kemudian hari, sekecil apapun sumbangsih dan potensi yang ada, kiranya sama-sama memperoleh peluang dalam memajukan negeri ini. Terimaksih.

Sumber: http://www.sumbarprov.go.id/home/detail.asp?iData=1099&iCat=451&iChannel=16&nChannel

Ilmuan Paleoanthropology Dunia membahas Penemuan Manusia Flores

Ilmuan Paleoanthropology Dunia membahas Penemuan Manusia Flores

Dua kelompok ilmuwan yang selama ini berseberangan mengenai penemuan manusia Flores (homo florensis), akan segera beradu argumen. Para ilmuwan ini belum pernah bertemu secara langsung.
“Selama ini kita memang hanya beradu argumen melalui media dan baru akan bertemu secara langsung minggu ini,” kata Prof Dr Teuku Jacob kepada wartawan di Gedung Bioantropologi UGM, Sabtu (21/7/2007).
Dua kelompok ilmuwan yang berbeda pendapat itu, bertemu dan beradu argumentasi dalam International Seminar on Southeast Asian Paleoanthropology di Yogyakarta tanggal 23-25 Juli mendatang.
Jacob yang juga juga guru besar UGM menambahkan, masih tetap berprinsip bahwa manusia Flores adalah spesies manusia biasa yang mengalami kelainan genetik, dengan tinggi hanya sekitar 150 cm. Sementara, beberapa pakar luar negeri seperti Bob Roberts, Peter Brown, dan Michael Moorwood dari Australia meyakini, manusia Flores adalah jenis spesies baru.
“Kita masih meyakini hingga sekarang bahwa manusia flores adalah jenis manusia biasa yang hanya mengalami kelainan genetik. Sehingga, tubuhnya lebih pendek seperti katai. Namun, dari beberapa tokoh itu yang pasti datang kelihatannya hanya Morwood saja,” kata Jacob.
Disamping membahas persoalan manusia Flores, seminar ini dihadiri 72 ahli dari luar negeri dan 27 dari Indonesia itu, juga akan membahas berbagai teori baru seperti evolusi hewan dan peralatan manusia. Selain itu, berbagai perkembangan baru yang banyak ditemukan di sejumlah negara seperti Cina dan India juga akan menjadi bahasan.
“Ya karena rata-rata peserta seminar sudah berusia lanjut seperti saya, sehingga kita harus menyediakan angkutan gawat ke Sydney, Tokyo dan Singapura,” tambahnya.
Seminar ini digelar sekaligus untuk meresmikan unit laboratorium Paleanthropology milik UGM, yang baru saja selesai di renovasi. Jacob mengklaim, laboratorium ini merupakan yang terlengkap di Asia Tenggara.
Usai seminar, pada 26 s.d 29 Juli 2007 para peserta juga akan mengunjungi sejumlah situs seperti Sangiran, Trinil dan Sambungmacan, Jawa Tengah. Selanjutnya, dengan pesawat carteran mereka juga akan mengunjungi situs manusia flores di Nusa Tenggara Timur. (Humas UGM)

Sumber: http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=835