Friday, August 3, 2007

Catatan untuk Abdullah Ahmed An-Naim



Catatan untuk Abdullah Ahmed An-Naim


Jum'at, 27 Juli 2007 yang lalu, penerbit Mizan mengadakan diskusi dan
bedah buku "Islam dan Negara Sekular: Menegoisasikan Masa Depan Syariah"
di MP Book Point Cipete Jakarta dengan menghadirkan penulisnya, Abdullah
Ahmed An-Naim (Sudan), yang saat ini menjabat sebagai Professor of Law,
Emory University, Atlanta, Georgia, U.S.A. Di samping itu, Dr. Hamid
Fahmy Zarkasyi, M.Ed, M.Phil (Presiden Direktur INSISTS) diundang
sebagai pembedah utama dan dua pembedah lainnya dari majalah Sabili dan
Hizbut Tahrir.

An-Naim secara khusus didatangkan untuk menjajakan idenya tentang negara
sekuler dan ketidaksesuaian syariah untuk dijadikan dasar negara pada
serangkaian acara diskusi dan bedah buku di beberapa kota besar
Indonesia. Penerbitan buku dalam edisi bahasa Indonesia justru
mendahului penerbitan dalam edisi bahasa yang dikuasai
penulisnya--paling tidak-- Arab dan Inggris. Edisi bahasa Inggrisnya
baru akan diterbitkan pada tahun 2008 oleh Hardvard University Press.
Dan menurut rencananya akan dipublikasikan dalam tujuh bahasa lainnya,
Arab, Parsia hingga Rusia.

Saya menyempatkan diri untuk menghadiri diskusi dan bedah buku di Cipete
untuk mengobati rasa penasaran saya terhadap ketokohan an-Naim yang
disambut dengan segala penghormatan dan dipromosikan secara berlebihan
oleh kalangan modernis-liberal cabang Indonesia. Dalam bayangan saya,
sang penulis, an-Naim yang disebut profesor di bidang syariah dan HAM
itu, akan menjelaskan beberapa poin mendalam seputar syariah, negara dan
sekularisme dalam acara diskusi dan bedah buku yang seharusnya dimulai
pk 15.00, namun sayangnya, acara baru mulai menjelang pk 16.00.

Saya pribadi telah familiar dengan beberapa tokoh intelektual Sudan, dan
bagi saya mereka mempunyai tempat tersendiri dalam mengembangkan
intelektualitas saya. Di International Islamic University Malaysia, saya
belajar dua matakuliah, Early Development of Islamic Thought dan
Islamization of Knowledge pada Prof. Dr. Ibrahim Zein, yang juga menjadi
pembimbing kedua untuk tesis saya. Beliau adalah salah seorang murid
(alm) Ismail Raji al-Farouqi.

Dan terlebih lagi pada tanggal 29 Juni 2007, INSISTS mengundang Prof.
Dr. Mudhakkir Abdurrahim (yang juga salah seorang guru Ibrahim Zein)
untuk berbicara tentang Western Policy to Islam. Sehingga dalam dugaan
saya, kapasitas an-Naim tidak jauh berbeda dari mereka berdua. Ternyata
apa yang saya duga jauh dari realitas.

An-Naim terlalu simplistik dalam menjelaskan makna negara, syariah dan
hubungannya antara satu dengan lainnya. Misalnya diawal presentasinya
dan seperti yang dipublikasikan di The Jakarta Post sehari sebelum acara
itu, 26 Juli 2007, dia menjelaskan bahwa negara (state) baru muncul
setelah masa penjajahan (post-colonial period). Sedangkan syariah adalah
sistem normatif berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah.

Namun begitu syariah adalah produk penafsiran, produk pemikiran dan
produk pengalaman manusia. Jadi syariah bukanlah produk Tuhan, tidak
abadi (eternal) dan tidak mengikat (not binding). Syariah, menurut dia,
mempunyai konteksnya sendiri. Jadi an-Naim menolak segala klaim
penerapan syariah melalui negara. Negara adalah institusi sekuler,
negara tidak bisa diimani, negara adalah benda mati (inanimate being),
jadi negara tidak bisa menjadi atau disebut Islami.

Di samping itu, negara, kata dia, adalah institusi politik, di mana
warganya diperlakukan setara. Jadi ide negara syariah berarti
mengesampingkan kemungkinan perlakuan yang sama terhadap warga negara.
Dalam sistem negara sekular, Anda tidak bisa melakukan diskriminasi
terhadap warga non-Muslim atau kepada warga yang Muslim seperti yang ada
dalam sistem syariah. Gerakan syariah adalah tren yang berbahaya. Sebab
apa yang diharamkan (illegitimate) dan dianggap salah, hanya didasarkan
dari sudut pandang Islam. Inilah yang dimaksud an-Naim bahwa negara
syariah jelas melanggar HAM internasional, seperti yang disuarakannya
dalam artikel-artikelnya.

Menurut an-Naim, istilah "Syariah" tidak ditemukan dalam abad pertama
hijriyah. Istilah ini baru dikenal dalam abad kedua dan ketiga.
Al-Qur'an juga tidak pernah menyebutkan kata "Syariah" dalam pengertian
seperti apa yang kita diskusikan ini, demikian juga Sunnah. "Anda
juga tidak menemukan negara Islam (Islamic state) dan kodifikasi syariah
sepanjang sejarah hingga runtuhnya Daulah Utsmaniyyah di Turki pada
pertengahan abad 19M," kutipnya.

Baginya, Islam tidak bisa dipisahkan dari politik. Tapi Islam harus
dipisahkan dari negara. Sebab negara adalah produk politik dan Islam
adalah produk Tuhan. Dan sebagai Muslim, mereka akan berprilaku secara
politik sebagai seorang yang beriman dan Islam tidak bisa dipisahkan
dari kehidupan publik. Namun sebagai produk politik, negara harus
dipisahkan dari Islam.

Dalam sesi dialog, saya tidak mendapatkan kesempatan bertanya, mengingat
waktu terbatas untuk lima orang penanya. Saya baru mendapat kesempatan
setelah usainya acara diskusi. Terkait dengan klaimnya bahwa tidak
pernah ada negara Islam sepanjang sejarah, dan istilah negara baru
muncul setelah masa penjajahan, saya mengajukan pertanyaan yang sangat
sederhana:

"Apakah negara (state) yang Anda maksud bisa diidentikkan dengan istilah
baldah? --istilah ini banyak termaktub dalam Al-Qur'an, di antaranya:
QS. Saba': 15, QS. Al-Furqan 49 dll--. Kalau identik, apakah ayat yang
berkenaan dengan lafadz ini turun setelah berakhirnya masa koloni?
An-Naim menjawab, "Kata state berbeda dengan baldah. Kamu tahu,
Indonesia punya batasan wilayah, Singapura punya batasan, demikian juga
Thailand; jika seseorang dari negara tertentu ingin pergi ke negara lain
maka dia harus punya paspor dan visa. "Indonesia has a border,
Singapore has a border, Thailand has a border; so if someone of one
state want to go to another state he has to have passport and visa,"
kata dia. Inilah arti negara yang saya maksud dan ia lebih identik
dengan kata daulah. "Negara adalah hasil dari institusionalisasi
politik".

Kemudian Nirwan Syafrin, kandidat doktor ISTAC langsung melanjutkan
diskusi dengan mengajukan beberapa pertanyaan kritis. Saya tidak bisa
mengikuti diskusi mereka sampai selesai dan pamit ke Prof. Naim karena
ada keperluan. Poin yang saya tangkap dari jawaban Naim terhadap kritik
Nirwan adalah bagaimanapun Islam tidak bisa diinstitusikan. Berbagai
jawaban, tidak terlalu ilmiah.

Sekilah saya hanya berfikir, bagaimana orang seperti an-Naim --yang
sangat sederhana memaknai syariah dan negara-- bisa dijadikan duta
Amerika Serikat (AS) untuk mengkampanyekan ketidakmungkinan syariah
untuk diterapkan menjadi dasar negara? Apakah mereka kehabisan tokoh
intelektualnya? Kalau pengertian negara sebatas itu, maka klaim an-Naim
benar bahwa tidak pernah ada negara Islam sampai saat ini. Sebab jaman
Nabi, Sahabat dan setelahnya belum ada paspor dan visa. Sama halnya
dengan klaim bahwa bir 'bulan' dan wiski tidak haram, karena tidak
dikenal dalam jaman Nabi. Sebab Nabi hanya mengharamkan khamr.
[berlanjut../www.hidayatullah.com]


Oleh: Henri Shalahuddin
Penulis adalah alumnus Pondok Modern Gontor, penulis Al-Qur'an Dihujat


0 komentar: