Sunday, August 12, 2007

Gugatan Psikologi Posmodernis



Gugatan Psikologi Posmodernis
PSIKOLOGI DAN POSMODERNISME

Penulis : Steinar Kvale (Ed.)
Penerjemah : Helly
Penerbit : Pustaka Pelajar
Cetakan : I, 2006
Tebal : xii+376 hlm.

Posmodernisme sebagai gelombang intelektual begitu besar pengaruhnya beberapa dekade terakhir. Spirit anti kemapanannya tidak hanya menjiwai perkembangan ilmu-ilmu sosial. Bahkan, ilmu-ilmu eksakta terutama fisika yang dianggap sebagai anak emas peradaban modern pun tak luput dari pengaruhnya. Nama seperti Fritjof Capra dan Gary Zukav barangkali dapat disebut sebagai fisikawan yang memrakarsai lahirnya fisika yang posmodernistik.
Psikologi, yang masuk dalam wilayah abu-abu, juga tak luput dari rangsekan gelombang posmodernisme. Pengaruh posmodernisme pada ilmu psikologi justru kian kuat ketika sejak 1990 beberapa perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serikat, yang diprakarsai oleh Massachusetts Institute of Technology (MIT), menghapus Departemen Psikologi dan menggantinya dengan disiplin yang relatif baru, yaitu Departemen Ilmu Kognitif.
Kebijakan itu ditempuh berdasarkan ambisi untuk membersihkan ilmu psikologi dari spekulasi- spekulasi keilmuan atau pseudo science. Pembicaraan mengenai ilmu psikologi direduksi habis-habisan dan hanya sekedar menjadi wilayah kajian ilmu syaraf (neuroscience). Pikiran, jiwa, kesadaran, dan alam bawah sadar, yang dulu menjadi bahan kajian ilmu psikologi, diempaskan jauh-jauh karena dianggap meracuni.
Protes pun bertubi-tubi dialamatkan pada ambisi keilmuan yang melulu empiristis tersebut —kebanyakan berasal dari para psikolog yang berkarir di lini praktek (untuk membedakan dengan psikolog akademik). Perbedaan yang mencolok antara psikolog akademik dan psikolog praktis terletak pada kancah kerja dan orientasi keilmuannya. Sebagai pewaris elan modernisme, para psikolog akademik bernaung dalam kereta metode saintifik sebagaimana para ilmuwan ilmu-ilmu alam yang mendahuluinya.
Kita tahu, perkembangan ilmu psikologi modern ditopang oleh tiga pilar utama. Pertama, ilmu psikologi harus bersifat universal. Artinya, ada beberapa prinsip umum dan juga hukum- hukum kemungkinan, yang bisa dijadikan tolok ukur pengembangan keilmuan. Misalnya studi mengenai persepsi, memori, dan pembelajaran harus mampu mengatasi telikungan faktor sosio-historis tertentu.
Kedua, berbasis pada metode empiris. Karena mengikuti pertimbangan rasional dari filsafat empiris logis, psikologi modern telah pula merasa terikat dengan suatu keyakinan mengenai kebenaran melalui metode. Khususnya, keyakinan bahwa dengan menggunakan metode empirik, dan terutama eksperimen terkontrol, peneliti bisa memperoleh kebenaran mutlak tentang hakikat masalah pokok dan jaringan-jaringan kausal di mana masalah pokok dibawa serta.
Ketiga, riset sebagai lokomotif kemajuan. Derivasi dari asumsiasumsi teoritis terdahulu adalah keyakinan final kaum modernis, sebuah keyakinan terhadap sifat progresif riset. Karena metode empiris diterapkan dalam masalah pokok psikologi, psikolog belajar semakin banyak mengenai karakter dasar. Keyakinan yang salah dapat dihindari, dan psikolog beralih ke arah penegakan kebenaran nilai-nilai netral dan reliabel tentang berbagai segmen dunia yang obyektif (hlm. 34-35).
Pengaruh tiga pilar utama pengembangan ilmu psikologi di atas begitu kuat dalam tradisi keilmuan hingga sekarang— terutama dalam iklim keilmuan Indonesia yang masih berkiblat ke Barat. Barangkali kita bisa melihat langsung, betapa ragam penelitian ilmiah, dari skripsi sampai disertasi, didominasi oleh model penelitian kuantitatif di mana prinsip validitas dan reliabilitas menjadi tujuan itu sendiri. Aktivitas penelitian hanya diabdikan pada pengujian keabsahan teori, bukan pada orientasi pemecahan masalah yang peka realitas.
Nah, beragam bentuk gugatan terhadap pemujaan atas metode ilmiah dalam psikologi dituangkan dalam buku ini. Para psikolog dari berbagai latar belakang konsentrasi, yang membaptis dirinya sebagai psikolog posmodern, menuangkan buah- buah pemikirannya yang brilian sebagai bentuk reaksi terhadap dominasi psikologi modern. Ada asumsi bersama yang diyakini para penulis bahwa semua cabang ilmu psikologi yang dipelajari hingga sekarang, entah itu psikologi klinis, sosial, perkembangan, dan lainnya, tak satu pun yang bisa luput dari pengaruh metode saintifik. Manusia, dengan berbagai macam latar belakang budaya, dipaksa tunduk hanya pada satu penjelasan.
Apakah kita bisa menerima asumsi bahwa kehidupan George Bush Jr. dan Dalai Lama sama- sama digerakkan oleh motif pencarian kenikmatan (Freud) dan haus kekuasaan (Adler)? Tentu kita akan menjawab tidak!
Apakah kita bersedia disetarakan dengan tikus atau simpanse yang bereaksi terhadap segala sesuatu ketika diberi stimulus (Pavlov, Watson)? Tentu kita akan membela dengan gigih bahwa kita adalah makhluk yang dikaruniai kebebasan tidak sebagaimana hewan yang hanya memiliki insting. Apakah kita tidak sadar bahwa berbagai macam jenis gangguan jiwa yang tak terhitung jumlahnya, yang dipublikasikan oleh Asosiasi Psikiatri Amerika, ternyata hanya untuk memantapkan posisi mereka dan demi kelangsungan dan keuntungan industri farmasi? Apakah kita menyadari bahwa kleptomania ternyata bukan penyakit bawaan—karena istilah itu baru muncul pada 1960- an ketika industri hypermarket menggurita di Amerika? Dan tak terhitung lagi keganjilan lain yang seakan-akan obyektif, padahal itu lahir dari konstruksi sosial.
Lantaran dampak penggunaan metode ilmiah yang dipaksakan dalam psikologi telah memperparah proses dehumanisasi (manusia semata-mata sebagai obyek eksperimen yang dapat dikendalikan), upaya melahirkan sebuah pendekatan baru dalam psikologi kian mendesak. Para psikolog dalam buku ini berpendapat, dominasi dan pengaruh metode ilmiah dalam psikologi baru bisa direduksi cengkeramannya ketika pengembangan ilmu psikologi untuk waktu selanjutnya memenuhi kriterium-kriterium tertentu.
Kriterium itu pertama, penghapusan wacana tunggal. Artinya, tidak ada definisi teori psikologi mana pun yang bersifat universal, semua teori terbentuk dari latar belakang sosiohistoris tertentu. Ngelindur di Amerika sudah dianggap sebagai gangguan psikologis, padahal kita yang hidup di Indonesia menganggap kejadian itu sebagai kewajaran. Kedua, dari universalitas ke refleksi kontekstual. Artinya, ilmu psikologi harus dikembangkan dari fakta-fakta dan pendekatan lokal sehingga setiap fenomena terjaga keunikannya.
Ketiga, marjinalisasi metode. Artinya metode penelitian hanyalah sekedar alat teropong sarana), bukan tujuan itu sendiri. Dan keempat, mengusung kritik kultural. Ilmu dan teknologi modern telah menyumbang problem-problem serius kemanusiaan yang luput dari perhatian karena hal itu dianggap sebagai risiko yang wajar bagi modernitas—ilmu psikologi posmodern, karena itu, harus bersifat kritis terhadap setiap klaim universal psikologi modern dan juga senantiasa kritis sekaligus peka terhadap dinamika masyarakat (hlm. 41-46).
Namun, sebagai bentuk koreksi, kriterium-kriterium pengembangan ilmu yang diajukan para psikolog posmodern di atas dilatarbelakangi oleh aktivitas keilmuan mereka yang kebanyakan dihabiskan di wilayah konseling. Pertemuan mereka dengan banyak kasus menuntut mereka untuk lebih berempati terhadap berbagai jenis gangguan psikologis—dan mereka juga dituntut untuk berani memperkaya perspektif—tidak selalu merujuk pada psikologi mainstream. Psikologi posmodern dibangun di atas filsafat manusia yang tidak tunggal, sebab setiap kebudayaan dan latar belakang sosio-historis yang berbeda akan melahirkan karakter manusia yang berbeda pula.
Sebagai wacana keilmuan yang baru, psikologi posmodern harus siap mempertaruhkan dirinya di belantara tradisi keilmuan. Gugatan atas status quo keilmuan akan memunculkan kemungkinan yang mendebarkan: ia bisa jadi diterima dengan antusias di kalangan ilmuwan psikologi, atau sebaliknya, ia akan dipandang sebelah mata, bahkan dicampakkan. Tapi, selagi kritik itu diberangkatkan dari keprihatinan yang nyata dan dialamatkan dengan membawa argumen-argumen yang jelas, ia akan tetap memiliki masa depan. Sebab, tradisi keilmuan dibangun di atas kritisisme yang selalu tak puas diri.
AFTHONUL AFIF, Mahasiswa Psikologi Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta
Sumber: http://www.ruangbaca.com/ruangbaca/?doky=MjAwNg==&dokm=MDc=&dokd=MzA=&dig=

0 komentar: