Sunday, August 12, 2007

KEBANGSAAN MENURUT AL QUR’AN




KEBANGSAAN MENURUT AL QUR’AN
Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab

“Kebangsaan” terbentuk dari kata “bangsa” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai kesatuan orang-orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri. Sedangkan “kebangsaan” diartikan sebagai “ciri-ciri” yang menandai golongan bangsa.
Para pakar berbeda pendapat tentang unsur-unsur yang harus terpenuhi untuk menamai suatu kelompok manusia sebagai bangsa. Demikian pula mereka berbeda pendapat tentang ciri-ciri yang mutlak harus terpenuhi guna terwujudnya sebuah bangsa atau kebangsaan. Hal ini merupakan kesulitan tersendiri dalam upaya memahami pandangan Al Qur’an tentang paham kebangsaan.
Di sisi lain, paham kebangsaan-pada dasarnya- belum dikenal pada masa turunnya Al Qur’an. Paham ini baru muncul dan berkembang di Eropa sejak akhir abad ke 18 dan dari sana menyebar ke seluruh dunia Islam.
Memang, keterikatan kepada tanah tumpah darah, adat istiadat leluhur, serta penguasa setempat telah menghiasi jiwa umat manusia sejak dahulu kala, tetapi paham kebangsaan (nasionalisme) dengan pengertiannya yang lumrah dewasa ini baru dikenal pada akhir abad ke 18.
Yang pertama kali memperkenalkan paham kebangsaan kepada umat Islam adalah Napoleon pada saat ekspedisinya ke Mesir. Lantas, setelah revolusi 1789 Perancis menjadi salah satu negara besar yang berusaha melebarkan sayapnya. Mesir yang ketika itu dikuasai oleh para Mamluk dan berada di bawah naungan kekhalifahan Utsmani, merupakan salah satu wilayah yang diincarnya. Walaupun penguasa-penguasa Mesir itu beragama Islam, tetapi mereka berasal dari keturunan orang-orang Turki. Napoleon mempergunakan sisi ini untuk memisahkan orang-orang Mesir dan menjauhkan mereka dari penguasa dengan menyatakan bahwa orang-orang Mamluk adalah orang asing yang tinggal di Mesir. Dalam maklumatnya, Napoleon memperkenalkan istilah Al-Ummat Al Misriyyah, sehingga ketika itu istilah baru ini mendampingi istilah yang selama ini telah amat dikenal, yaitu Al Ummah Al Islamiyah.
Al Ummah Al Misriyah dipahami dalam arti bangsa Mesir. Pada perkembangan selanjutnya lahirlah ummah lain atau bangsa-bangsa lain.
Untuk memahami wawasan Al Qur’an tentang paham kebangsaan, salah satu pertanyaan yang muncul adalah “kata apakah yang sebenarnya dipergunakan Al Qur’an untuk menunjukkan konsep bangsa atau kebangsaan? Apakah sya’b, qaum atau ummah?”
Kata qaum dan qaumiyah sering dipahami dengan arti bangsa dan kebangsaan. Kebangsaan Arab dinyatakan oleh orang-orang Arab dewasa ini dengan istilah Al Qaumiyah Al ‘Arabiyah. Sebelumnya, pusat Bahasa Arab Mesir pada tahun 1960, dalam buku Mu’jam Al Wasith menerjemahkan “bangsa” dengan kata ummah.
Kata sya’b juga diterjemahkan sebagai “bangsa” seperti ditemukan dalam terjemahan Al Qur’an yang disusun oleh Departemen Agama RI, yaitu ketika menafsirkan surat Al Hujurat: 13.
Mestikah untuk mendukung atau menolak paham kebangsaan, kata qaum yang ditemukan dalam Al Qur’an sebanyak 322 kali itu ditoleh? Dapatkah dikatakan bahwa pengulangan yang sedemikian banyak, merupakan bukti bahwa Al Qur’an mendukung paham kebangsaan? Bukankah para Nabi menyeru masyarakatnya dengan “Ya Qaumi” (wahai kaumku/bangsaku), walaupun mereka tidak beriman kepada ajarannya?
Di sisi lain, dapatkah dibenarkan pandangan sebagian orang yang bermaksud mempertentangkan Islam dengan paham kebangsaan, dengan menyatakan bahwa Allah Ta’ala dalam Al Qur’an memerintahkan Nabi Muhammad untuk menyeru masyarakat tidak dengan kata qaumi, tetapi “ ya ayyuhan nas” (wahai seluruh manusia), serta menyeru kepada masyarakat yang mengikutinya dengan “ya ayyuhal ladzina amanu?” Benarkah dalam Al Qur’an tidak ditemukan bahwa nabi Muhammad menggunakan kata qaum untuk menunjuk kepada masyarakatnya, seperti yang ditulis sebagian orang?
Hemat penulis, untuk menemukan wawasan Al Qur’an tentang paham kebangsaan, tidak cukup sekedar menoleh kepada kata-kata tersebut yang digunakan Al Qur’an, karena pengertian semantiknya dapat berbeda pengertian yang dikandung oleh kata bangsa atau kebangsaan. Kata sayyarah yang ditemukan dalam Al Qur’an misalnya, masih digunakan dewasa ini, meskipun maknanya sekarang telah berubah menjadi mobil. Makna ini tentunya berbeda dengan maksud Al Qur’an ketika menceritakan ucapan saudara-saudara Nabi Yusuf yang membuangnya ke dalam sumur dengan harapan dipunggut oleh sayyarah yakni kafilah atau rombongan musafir (QS. Yusuf 10).
Paham kebangsaan sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Al Qur’an dan sunnah. Bahkan semua unsur yang melahirkan paham tersebut, inklusif dalam ajaran Al Qur’an, sehingga seorang muslim yang baik pastilah seorang anggota suatu bangsa yang baik. Kalau anggota suatu bangsa terdiri dari beragam agama atau anggota masyarakat terdiri dari berbagai bangsa, hendaknya mereka dapat menghayati firman-Nya dalam surat Al Baqarah ayat 148:
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblat (arah yang ditujunya), dia menghadap ke arah itu. Maka berlomba-lombalah kamu (melakukan) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian. Sesungguhnya Allah Maha kuasa atas segala sesuatu”

0 komentar: