Sunday, August 12, 2007

KEBUDAYAAN MARITIM MODERN; SEBUAH ALTERNATIF KONSEP KEBUDAYAAN BAGI INDONESIA DALAM MENGHADAPI ABAD 21




KEBUDAYAAN MARITIM MODERN; SEBUAH ALTERNATIF KONSEP KEBUDAYAAN BAGI INDONESIA DALAM MENGHADAPI ABAD 21

PENDAHULUAN
Ketidakmampuan penulis mempresentasikan makalah filsafat kebudayaan berjudul “Formulasi Konsep Kebudayaan Indonesia dengan baik, membuat keterpukulan tersendiri. Beberapa tanggapan kritis, tidak adanya sinkronisasi antara judul makalah dengan pembahasan, kajian terlalu antropologis-sosiologis-historis, menjadikan makalah itu lebih cocok diberi judul “Fenomena Kebudayaan Indonesia”. Sehingga perlu bagi penulis untuk merancang dan menghasilkan sebuah makalah baru yang lebih filosofis dan spesifik bahasannya. Akhirnya setelah melakukan kajian, penulis menemukan ide baru yang masih meneruskan makalah pertama. Makalah ini penulis beri judul “Kebudayaan Maritim Modern; Sebuah Alternatif Konsep Kebudayaan bagi Indonesia dalam menghadapi Abad 21”.
Pada makalah terdahulu (Formulasi Konsep Kebudayaan Indonesia), telah panjang-lebar penulis paparkan mengenai pengertian kebudayaan, kebudayaan Nasional Indonesia, akar kebudayaan Indonesia, masuknya kebudayaan barat di Indonesia, situasi budaya Indonesia dewasa ini, tantangan kebudayaan Indonesia dan langkah-langkah menuju peradaban Indonesia. Dikarenakan makalah kedua ini merupakan tidak putus dari makalah pertama, maka pada kesempatan ini penulis memfokuskan diri membahas formulasi kebudayaan yang penulis tawaran. Tulisan ini mengambil analisis dari strategi kebudayaan van Peursen, seorang akademisi filsafat dari berkebangsaan Belanda.

PEMBAHASAN
a.Pandangan Kebudayaan van Peursen
Kekayaan dan keanekaragaman sejarah kebudayaan manusia sangat sulit untuk digambarkan secara lengkap. Tapi, menurut van Peursen, sejarah umat manusia dapat kita pilah menjadi 3 tahap, yaitu:
1.Tahap Mitis, yaitu sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya.
2.Tahap Ontologis, yaitu sikap manusia yang tidak lagi hidup dalam kepungan kekuasaan kekuatan mitis, melainkan secara bebas ingin meneliti segala hal.
3.Tahap Fungsional, yaitu sikap dan alam pikiran yang tidak begitu terpesona lagi oleh lingkungannya (sikap mitis), ia tidak lagi dengan kepala dingin ambil jarak terhadap objek penyelidikannya (sikap ontologis), ia ingin mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya (Peursen, 1976; 18).
Beberapa aspek ciri tahapan fungsional yang digambarkan oleh van peursen adalah:
orang mencari hubungan-hubungan antara semua bidang; arti sebuah kata atau sebuah perbuatan maupun barang dipandang menurut peran atau fungsi yang dimainkan dalam keseluruhan yang saling bertautan.
Sifat tegang menjadi ciri khas. Manusia mempertaruhkan diri, mengarahkan diri kepada sesuatu atau kepada seorang lain dengan segala gairah hidup dan emosi-emosinya.
Sikap eksistensiil merupakan ciri khas bagi tahap fungsional: orang mencari relasi-relasi, kebertalian sebagai penganti bagi jarak dan pengetahuan objektif.
Dalam memandang alam dan masyarakat, manusia mengarahkan diri kepada dunia sekitarnya, manusia diikutsertakan untuk makin mengisi arti dunia. Manusia makin aktif mencampuri perkembangan alam dan sejarah.
Dalam memandang pekerjaan dan organisasi, pekerjaan tidak lagi dipandang sebagai sebuah benda, semacam substansi yang dapat diperdagangkan. Bekerja merupakan suatu cara untuk memberi isi kepada eksistensi kita sebagai manusia, untuk menjadikan kemanusiaan kita sesuatu yang nyata; kalau tidak, maka pekerjaan itu menjadi hampa, tanpa arti, dan tak dapat dibenarkan. Akibat finansial dari pekerjaan, pendapatan dipandang sebagai salah satu faktor bersama factor-faktor yang lain. Yang menentukan adalah bagaimana manusia berfungsi dalam keseluruhan dengan penuh arti atau tidak.
Dalam memandang peranan pengetahuan, orang ingin menambah pengetahuan. Yang dipentingkan adalah bagaimana itu ada? Artinya, cara sesuatu menampakkan diri pada kita, cara kita dapat mempergunakan barang-barang itu, fungsi-fungsi yang dapat dijalankan.
Dalam memandang budaya, kebudayaan adalah cara manusia mengekspresikan diri, caranya ia mecari relasi-relasi yang tepat dengan dunia sekitarnya.
Dalam memandang Tuhan, pertanyaan mengenai Tuhan diketengahkan secara fungsional; bagaimana Tuhan dapat dikongkritkan dalam hubungan sehari-hari Peursen, 1976, 85-117).

b.Konsep Kebudayaan Maritim
Berpijak pada sejarah bangsa Indonesia yang pernah memiliki dua kerajaan besar yaitu Sriwijaya dan Majapahit mengabarkan kepada kita bahwa mereka maju sebagai Negara Maritim bukan sebagai Negara Agraris. Dilihat dari geografis, Indonesia memiliki lautan 2/3 dari keseluruhan luas wilayah Indonesia. Kemudian dilihat dari tahap fungsional yang dikemukan oleh van Peursen, penulis mengambil suatu kesimpulan bahwa kebudayaan maritimlah yang tepat dalam pengembangan kebudayaan Indonesia.
Di atas telah penulis kemukakan tentang ciri-ciri tahap fungsional. Penulis melihat selama ini konsep kebudayaan Indonesia disetting dengan format kebudayaan agraris yang cendrung terpaku pada alam dan kekuatan adikodrati, sangat feodalistik, dan membagi masyrakat pada strata-strata kekuasaan-kekayaaan. Padahal budaya ini telah berhasil dimanfaatkan oleh penjajahan yang pernah mengcengkramkan kakinya di negeri ini. Kita dijadikan sebagai bangsa budak, bangsa kuli, bangsa buruh yang dapat pembaca pahami dari makalah pertama.
Oleh karena itu, penulis melihat kita perlu merubah paradigma kebudayaan kita kepada konsep kebudayaan maritim. Terkait dengan tahap fungsional di atas tadi, dapat penulis katakan banyak titik persamaan dengan kebudayaan maritim.
Maritim yang penulis kemukakan bukan dalam artian “laut” sebagai arti kata pasif, Namun lebih dari itu. Penulis menyandarkannya pada kata modern. Yang penulis maksud dengan kebudayaan maritim modern adalah kebudayaan dengan semangat keterbukaan, kemandirian, dan keberanian dalam menghadapi zaman modern dengan menggunakan keluasan dan kecerdasan pelaut.
Keterbukaan adalah suatu sikap mau membuka diri terhadap perubahan zaman dan nilai-nilai lain yang masuk atau ia dapatkan. Seperti yang kita ketahui daerah maritim disinggahi oleh berbagai ragam etnis dan bangsa yang membawa nilai-nilai/budaya yang berbeda dengannya. Sering juga orang maritim mengarungi lautan untuk berlayar ke negeri lain, dan di sana mereka berinteraksi dan berkomunikasi dengan bangsa setempat. Banyak hal baru yang mereka jumpai. Keterbukaan masyarakat maritim adalah ketika ia mau menghargai kebudayaan bangsa lain dan acap kali melakukan adaptasi inovatif terhadap budaya lain untuk memperkuat budayanya. Dalam konteks zaman sekarang, dimana dunia dikatakan sebagai global village, pertemuan budaya antar bangsa sangat mudah dan cepat maka sikap ini sangat diperlukan dalam pergaulan sesama bangsa yang mendiami dunia.
Bersangkutan dengan hal ini, sikap kemandirian merupakan pagar pelindung bagi bangsa maritim. Perdagangan merupakan pencarian utama masyarakat maritim. Kebudayaan maritim modern yang hendak kita capai adalah mencoba untuk melepaskan kunkungan konsumerisme, menjadi bangsa yang hanya sebagai pemakai dari barang-barang buatan orang lain. Hal ini diupayakan dengan kolaborasi penguasaan pasar bersama pembuatan hasil produksi di dalam negeri. Sifat agraris masyarakat Indonesia yang mayoritas petani dapat diberdayakan dalam konteks ini. Pertanian dan industri dikembangkan secara modern, tidak hanya menghasilkan barang mentah tapi produksi sampai barang jadi. Sehingga produk ini didistribusikan oleh pedagang ke seantero dunia melalui kemampuannya bernegosiasi dan merambah pelosok negri lain/kemampuan transportasi.
Keberanian menjadi ciri khas dari masyarakat maritim. Ketika berlayar banyak hambatan alam yang ditemui. Gelombang badai, keterasingan di tengah laut, perompak/bajak laut, dan ancaman binatang laut menjadi hal yang biasa. Padahal tantangan ini begitu berat dibandingkan dengan mengelola pertanian. Sehingga masyarakat maritim secara psikologis adalah bangsa yang berani. Mereka tidak mau takluk dengan alam, tapi berusaha bersahabat dengan alam. Fenomena alam mereka pelajari dan dijadikan sebagai penunjuk dalam berlayar. Terkait dengan hubungan dengan kekuatan adi kodrati, mereka sepenuhnya mempercayai. Karena dalam fungsionalnya keberadaan Tuhan mereka rasakan dalam pergembaraan mereka di laut. Sehingga religuslitas tidak hilang dalam diri mereka.
Berangkat dari analisis itu maka penulis yakin konsep kebudayaan maritim bisa menjadi suatu solusi bagi strategi kebudayaan Indonesia dalam menghadapi zaman yang telah memasuki fase fungsionalistik dewasa ini.

PENUTUP
Demikianlah makalah ini penulis buat. Memang masih banyak kekurangan. Namun ini adalah bagian dari proses pembelajaran, apalagi dalam konteks kajian filsafat yang sarat dengan kesulitan dan hanya mampu digeluti oleh sebagian kecil orang. Semoga makalah ini bermanfaat adanya.

DAFTAR PUSTAKA
Peursen, C.A. van. 1976. Strategi Kebudayaan. Terjemahan; Dick Hartoko. Penerbit Kanisius; Yogyakarta.

0 komentar: