Sunday, August 12, 2007

Sebuah Model Dialog Kristen-Islam




Sebuah Model Dialog Kristen-Islam

oleh Hans Kung
University of Tubingen, Tubingen, Jerman Barat


Sajian khusus nomor perdana jurnal ini menurunkan dua artikel. Artikel pertama ditulis oleh Hans Kung berjudul “Christianity and World Religions: The Dialogue with Islam as One Model.” Artikel kedua ditulis oleh Seyyed Hossein Nasr berjudul “Response to Hans Kung’s Paper on Christian-Muslim Dialogue.” Mulanya kedua tulisan tersebut disampaikan pada pertemuan pertama Harvard Divinity School’s Jerome Hall Dialogue Series, yang diadakan pada tanggal 16 0ktober 1984, yang kemudian dimuat dalam The Muslim World Vol. LXXVII, No. 2 (April 1997), h. 80-105. Kedua artikel tersebut diterjemahkan oleh Nanang Tahqiq. (Red.)
SETELAH penelitian sulit bertahun-tahun, panel World Christian Encyclopaedia (Oxford, 1982) menghitung bahwa pemeluk Buddha di dunia berjumlah 274 juta, yang hanya sedikit bermukim di India. Pemeluk Hindu berjumlah lebih dari dua kali lipat, yakni 583 juta. Tujuh ratus dua puluh tiga juta Muslim merupakan kelompok terbesar kedua setelah Kristen yang berjumlah 1400 juta. Ini mengungkapkan betapa besar dan pentingnya agama Islam, berbeda dari agama-agama mistis asal India, yang harus dilihat sebagai agama profetik bersama Yahudi dan Kristen.
Islam kini berkembang menjadi lebih dekat kepada kita ketimbang sebelumnya, dalam pengertian yang lebih luas ketimbang pengertian murni geografi dan mobilitas. Terdapat penambahan jumlah orang-orang Muslim yang berada di sekitar kita secara besar-besaran, yang kita bawa ke negara-negara kita karena pertimbangan-pertimbangan ekonomi. Kita menginginkan tenaga kerja dan akhirnya kita pun dipertemukan dengan orang-orang yang seperti kita, yakni orang-orang yang secara tajam mendefinisikan keimanan mereka seperti kita dan kehadiran mereka menjadi tantangan bagi suatu lingkungan Kristen yang tertutup.
Saya tidak akan membicarakan sejarah abad-abad silam yang telah dihiasi konflik dan pengetahuan mengenai Kristen dan Islam, juga tak akan membahas secara mendalam sebuah tema tunggal seperti Islam dan sikap kembali kepada, atau sekularisasi dalam Islam. Begitu pun saya tidak mau mengangkat kebiasaan teror orang-orang Muslim fanatik di Iran, yang telah meremukkan rasa simpati terhadap Islam yang barangkali masih dimiliki oleh banyak orang di antara kita. Dalam situasi sekarang, persisnya yang saya rasakan penting sebagai seorang teolog untuk memilih masalah-masalah teologis yang sukar dan mengajukan sebuah pertanyaan, yakni pertanyaan lewat contoh ketimbang menyeluruh: Bagaimana umat Kristen hari ini menanggapi klaim-klaim keimanan Muslim? Dengan kata lain, saya akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang akan menolong kita untuk secara penuh menguji pendirian ekumenis (bersifat mewakili umat Kristen sedunia) kita, yang berubah terhadap agama-agama dunia lain secara umum, dengan pandangan lebih luas dan terbuka; pertanyaan-pertanyaan yang mungkin membantu kita membaca kembali sejarah pemikiran teologis dan keimanan kita seperti yang diungkapkan dalam Islam.
Tak perduli dari pandangan teologis apapun kita memandang klaim-klaim Islam, satu hal tampak pasti di mata saya: terlepas dari Khomeini, tak akan ada lagi upaya untuk kembali ke kebiadaban Islam abad-abad silam, atau kebal dari citra buruk. Oleh karenanya sebagaimana dalam agama-agama yang lain, Islam kini tidak dapat lagi disepelekan oleh teologi Kristen, melainkan sudah harus dipertimbangkan baik secara politis maupun teologis sebagai sebuah realitas satu dunia, dimana kita hidup serta mewujudkan upaya-upaya teologis kita.
Orang-orang Kristen masih menganggap Islam, untuk sebagian besar, sebagai entitas yang kaku, sebagai sistem agama yang tertutup ketimbang agama hidup yang secara ajek berubah selama berabad-abad yang mengembangkan keanekaragaman inti yang besar dan dianut oleh sekelompok orang dengan spektrum yang luas dari sikap-sikap dan perasaan-perasaan. Akhir-akhir ini tentunya telah harus ada upaya berangsur-angsur untuk memahami dari dalam mengapa orang Muslim melihat Tuhan dan dunia, pengabdian kepada Tuhan dan kepada masyarakat, politik, hukum dan seni dengan pandangan berbeda, mengapa ia mengalami hal-hal itu semua dengan perasaan-perasaan yang berbeda dengan perasaan-perasaan orang-orang Kristen. Dengan memperhatikan Persia dewasa ini di benak, kita pertama-tama harus menangkap fakta bahwa malah sekarang agama Islam bukan sekadar “cabang lain” dalam kehidupan seorang Muslim, “cabang” yang telah mensekularkan masyarakat sebagaimana yang terjadi di dalam “faktor keagamaan” atau “sektor keagamaan” bersama-sama dengan “faktor-faktor kultural” atau “sektor-sektor kultural” yang lain. Kehidupan dan agama, agama dan budaya adalah saling terjalin secara dinamis. Islam berusaha menampilkan diri sebagai pandangan hidup yang serba mencakup, perspektif yang menyeluruh tentang kehidupan, dan cara yang menentukan seluruh kehidupan –dan jalan menuju kehidupan kekal di tengah-tengah mortalitas: sebuah jalan keselamatan. Keselamatan? Apa yang dapat dikatakan seorang teolog Kristen untuk klaim ini?
A. Islam - Sebuah Jalan Keselamatan?
Saya mengajukan pertanyaan ini dengan mempertimbangkan setidaknya sikap mendua dari World Council of Churches (Dewan Gereja-Gereja Sedunia) yang, disebabkan oleh konflik pandangan di antara anggota-anggota gereja sendiri, memilih, bahkan hingga akhir 1977-1979 di “Guidelines for Dialogue with People of Different Religions and Ideologies” (Petunjuk-Petunjuk untuk Dialog dengan umat yang Berbeda Agama dan Ideologi) untuk tidak menjawab pertanyaan apakah ada keselamatan di luar gereja-gereja Kristen, sebuah pertanyaan yang tak diragukan lagi sangat penting akhir-akhir ini.
Posisi Katolik tradisional, seperti dipersiapkan di abad-abad awal gereja Kristen oleh Origen, Cyprianus dan Augustinus, terkenal secara umum: extra ecclesiam nulla salus! (Tak ada keselamatan di luar Gereja). Maka untuk masa depan juga: extra ecclesiam nullus propheta! (Tak ada nabi di luar Gereja). Konsili Florensa pada 1442 mendefinisikan hal ini dengan sangat jelas:
Gereja Suci Roma … tegas-tegas meyakini, bersaksi dan menyatakan bahwa tak seorang pun di luar gereja Katolik, baik orang kafir atau Yahudi atau orang yang tidak beriman, tidak juga orang yang terpisah dari Gereja, akan ikut bersama-sama dalam kehidupan yang kekal, tetapi akan binasa di dalam api kekal yang disediakan untuk setan dan antek-antek-anteknya, jika orang tersebut tidak bergabung dengannya [gereja Katolik] sebelum mati.1
Bukankah hal tersebut, sekurang-kurangnya bagi orang-orang Katolik, tidak mengukuhkan klaim Islam? Dan tampaknya hal ini telah berjalan selama lebih dari 1200 tahun.
Adalah benar bahwa suatu teologi Katolik dekade-dekade belakangan ini telah mencoba untuk memperoleh “pemahaman baru” terhadap “dogma tambahan” yang tidak kompromistis tadi. Untuk sebagian besar hal itu berarti mengubah interpretasi yang selama ini dipegang teguh, malah pun menghasilkan sesuatu yang bertolak belakang. Walau begitu dogma tersebut, karena kekebalannya dari kesalahan, tetap tak mungkin dikoreksi. Akan tetapi pada abad ke- 17, Roma telah didesak oleh kaum Jansenis ekstrim guna membuang pernyataan extra ecclesiam nulla gratia (Tak ada rahmat di luar Gereja).2 Jika akhirnya ada rahmat charis, karisma yang bisa didapat di luar Gereja, tidakkah bisa disana juga ada kenabian, secara jelas salah satu charismata (anugerah spiritual) di luar Gereja?
Sekarang ini, betapapun juga, posisi Katolik tradisional tidak lagi menjadi posisi Katolik resmi. Sejak awal 1952 jemaat Roma secara bertolak-belakang dengan mengucilkan pendeta mahasiswa Harvard, P.L. Feeney, yang menurut para bapak gereja dan Konsili Florensa, mempertahankan bahwa semua orang di luar gereja Katolik adalah terkutuk. Sementara Konsili Vatikan Kedua menyatakan secara gamblang dalam undang-undang yang berkaitan dengan Gereja bahwa:
mereka yang, bukan dikarenakan kesalahan mereka sendiri, tidak mengetahui Injil Kristus atau Gerejanya, namun mereka mencari Tuhan dengan hati yang jujur dan, digerakkan oleh rahmat, berusaha dalam tindakan-tindakan mereka melaksanakan kehendak-Nya sebagaimana mereka mengetahui hal itu melalui bisikan kesadaran mereka sendiri-maka mereka pun akan memperoleh keselamatan yang kekal (Art 16).
Maksud sebenarnya dari pernyataan di atas ditujukan kepada mereka yang, lantaran latar belakang mereka sendiri, memiliki kesamaan keyakinan dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen dalam keesaan Tuhan dan dalam melaksanakan kehendak-Nya: orang-orang Muslim. “Tetapi rencana keselamatan juga berlaku bagi mereka yang mengakui Pencipta, yang utama dalam hal ini di sini adalah orang-orang Muslim: orang-orang yang bersiteguh mengikuti keimanan Ibrahim, dan bersama-sama kita mereka menghormati Tuhan Yang Esa, Tuhan yang Pengasih, hakim manusia di hari akhir” (Art 16). Oleh sebab itu, menurut Vatikan Kedua, bahkan orang-orang Muslim tidak perlu “binasa dalam api kekal yang dipersiapkan untuk setan dan antek-anteknya;” mereka pun bisa “memperoleh keselamatan yang kekal.” Ini berarti bahwa Islam juga dapat menjadi jalan keselamatan: mungkin bukan jalan sebagaimana biasanya, jalan yang “biasa,” tapi barangkali jalan yang secara historis pengecualian atau jalan “luar biasa.”
Teologi Katolik kontemporer ternyata membedakan antara jalan keselamatan yang “biasa” (yaitu jalan Kristen) dan yang “luar biasa” (yakni jalan non-Kristen). Bukankah ini berarti, sebagai sesuatu yang mungkin, bahwa sangatlah mungkin membedakan antara nabi-nabi yang “biasa” (nabi-nabi Kristen) dari nabi-nabi yang “luar biasa.” Selama berabad-abad Muhammad dianggap sebagai seorang nabi gadungan, nabi palsu, dukun, tukang sihir, pemalsu, dan yang agak mendingan, penyair Arab. Tidakkah seharusnya kita berpikir sebaliknya, bahwa ia adalah seorang nabi asli, bahkan seorang nabi yang sebenarnya? Tetapi kemudian, apakah Muhammad benar-benar seorang nabi asli, sungguh-sungguh seorang nabi yang sebenarnya?
Saya tidak dapat menerangkan sejarah yang umum dikenal tentang Muhammad, yang sangat berbeda dengan sejarah Yesus: Muhammad ini, putra seorang saudagar, adalah yang diminta seorang janda kaya untuk menikahi janda tersebut, dan Muhammad bertemu janda itu saat bekerja; nabi Arab ini menyampaikan pesan Tuhan Yang Esa serta keadilan-Nya, yang berbeda dengan kenyataan yang politeistik saat itu di Makkah, kemudian ia hijrah ke Madinah, sekitar 350 kilometer, tetapi pada akhirnya ia berhasil di segala hal yang ia lakukan; dialah yang menaklukkan Makkah dan mempersatukan jazirah Arab di bawah kekuasaannya –sehingga ia adalah nabi sekaligus politisi, panglima perang sekaligus negarawan. Dari sudut-pandang teologi Kristen, hanya satu pertanyaan yang relevan: Apakah ia benar-benar seorang Nabi)
B. Muhammad - Seorang Nabi?
Tentu saja banyak agama tak mempunyai nabi-nabi dalam pengertian yang paling ketat. Orang-orang Hindu memiliki guru-guru dan sadhu-sadhu, orang-orang Cina mempunyai orang-orang bijak (Inggris: sages), orang-orang Buddha mempunyai guru-guru (Inggris: masters), tetapi tak satu pun dari para penganut agama-agama tersebut, seperti orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim mempunyai nabi-nabi. Tak dapat diragukan bahwa bila seseorang di dalam seluruh sejarah keagamaan disebut sang Nabi, karena ia memang mengatakan dirinya sebagai nabi, begitu juga yang terjadi pada Muhammad. Dan apakah Muhammad memang begitu? Malah orang Kristen yang beriman, jika ia berkesempatan menyelidiki keadaaan tersebut, tidak dapat untuk tidak menyetujui bahwa:
• Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad tidak bekerja melalui kekuatan sebuah jabatan yang diberikan kepadanya oleh masyarakat (atau para penguasanya), melainkan melalui hubungan pribadi yang khusus dengan Tuhan.
• Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad adalah seseorang yang mempunyai keinginan kuat, yang merasakan dirinya dipenuhi oleh seruan ketuhanan yang sepenuhnya ditujukan, secara eksklusif ditentukan, untuk sebuah tugas.
• Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad berbicara tentang jantung krisis agama dan sosial, dan dengan kesalehan yang penuh gairah serta seruan revolusioner ia menentang kelompok penguasa kaya dan tradisi yang dipegang teguh.
• Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad, yang senantiasa menyebut diri sebagai Pengingat, berusaha menunjukkan diri sebagai bukan apa-apa selain jurubicara Tuhan dan tidak mengatakan apa-apa selain kata-kata Tuhan.
• Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad tak letih-letih menyatakan Tuhan Yang Esa yang tidak mentoleransi tuhan-tuhan selain diri-Nya, Pencipta yang baik dan Hakim yang Penyayang.
• Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad juga menghajatkan, sebagai responsi pada Tuhan yang Satu ini, kepatuhan, penyerahan diri, ketaatan tanpa syarat, yang merupakan arti literal dari kata Islam: segala sesuatu yang meliputi syukur pada Tuhan dan kemurahan hati kepada orang-orang lain.
• Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad menggabungkan monoteisme dengan humanisme, percaya kepada satu Tuhan dan pengadilan-Nya dengan seruan kepada keadilan sosial: maka pengadilan dipadukan dengan keselamatan, dan ancaman bagi yang tidak adil, yang akan masuk neraka, dengan janji-janji bagi orang-orang yang adil, yang diletakkan di surga-Nya.
Siapa pun yang membaca Bibel –sekurangnya Perjanjian Lama– dan al-Qur’an secara bersamaan akan digiring untuk merenungkan tentang apakah ketiga agama wahyu dari asal Semitik –Yahudi, Kristen dan Islam, dan khususnya Perjanjian Lama dan al-Qur’an– memiliki dasar yang sama. Bukankah Tuhan yang satu dan Tuhan yang itu-itu juga yang berbicara secara gamblang di dalam kedua kitab tersebut? Tidakkah selaras antara “Maka Tuhan pun berkata” dalam Perjanjian Lama dengan “Berfirman” dalam al-Qur’an, dan antara pernyataan Perjanjian Lama “Pergi dan nyatakan” dengan pernyataan al-Qur’an “Bangunlah dan peringatkan.” Bahkan kenyataan membuktikan bahwa jutaan orang Kristen yang berbicara bahasa Arab tidak memiliki kata lain untuk Tuhan selain “Allah”.
Karena itu, apakah mungkin prasangka yang murni dogmatik mengakui Amos dan Hosea, Isajah dan Jeremiah sebagai nabi-nabi, tetapi tidak mengakui Muhammad? Apa pun yang dituduhkan seseorang terhadap Muhammad dari sudut pandang moralitas Kristen Barat (kekerasan dengan senjata, poligami, gaya hidup penuh nafsu), tidak dapat diperselisihkan:
• bahwa sekarang bahkan terdapat 800 juta orang di daerah yang membentang antara Maroko di barat dan Bangladesh di timur, dari hamparan padang rumput Asia Tengah di utara hingga dunia kepulauan Indonesia di selatan, yang direkatkan oleh kekuatan luar biasa dari sebuah keimanan yang, tidak seperti keimanan lain, membentuk orang-orang yang mengakuinya ke dalam sebuah tipe yang universal;
• bahwa mereka itu diikat oleh sebuah pengakuan keimanan yang sederhana (tak ada tuhan selain Tuhan, dan Muhammad adalah utusan-Nya), diikat oleh lima kewajiban dasar (pengakuan keimanan, shalat, zakat untuk orang miskin, puasa satu bulan, haji); dan diikat oleh penyerahan total pada kehendak Tuhan, yang keputusan-Nya tidak berubah, bahkan bila menderitakan pun, harus diterima;
• bahwa pada mereka itu terdapat rasa persamaan fundamental manusia di hadapan Tuhan dan rasa persaudaraan internasional yang secara dasariah mampu mengatasi persoalan ras (orang-orang Arab dan orang-orang non-Arab) dan malah kasta-kasta di India.
Saya yakin bahwa meskipun ada kekhawatiran baru terhadap Islam, terdapat juga keyakinan yang meningkat di antara orang-orang Kristen bahwa, sesuai dengan kenyataan Muhammad dalam sejarah, kita tidak dapat melarikan diri dari sebuah koreksi sudut-pandang. “Momok eksklusifitas” yang muncul dari ketidaksabaran dogmatik, yang kerap dikutuk oleh sejarawan universal Inggris Arnold Toynbee, harus disingkirkan. Adapun menyangkut tokoh Nabi Muhammad, harus diakui:
• bahwa masyarakat Arab di abad ke-7 mendengar dan mengikuti seruan Muhammad;
• bahwa dalam perbandingan dengan politeisme yang sangat duniawi dari agama-agama kesukuan Arab lama, agama rakyat telah dinaikkan ke tingkat yang sepenuhnya baru, tingkat suatu agama tinggi yang monoteistik;
• bahwa orang-orang Muslim menerima dari Muhammad –atau, secara lebih baik, dari al-Qur’an– inspirasi, keberanian dan kekuatan yang tak ada habis-habisnya untuk permulaan agama baru: sebuah permulaan menuju kebenaran lebih besar dan pemahaman lebih dalam, menuju sebuah terobosan kebangkitan kembali serta pembaruan agama tradisional. Islam adalah pengilham besar bagi kehidupan.
Sesungguhnya Muhammad dulu dan kini adalah untuk masyarakat dunia Arab dan bahkan lebih jauh adalah sang pembaru agama, pembentuk hukum dan pemimpin: sang Nabi, per se. Secara dasariah, Muhammad, yang tidak pernah menginginkan menjadi apa pun selain manusia biasa, bagi orang-orang yang mengikutinya (imitatio Mohahmetis) lebih dari sekadar seorang nabi bagi kita: ia adalah contoh dalam gaya hidup yang diajarkan Islam. Dan jika gereja Katolik, menurut deklarasi yang berhubungan dengan agama-agama non-Kristen versi Vatikan Kedua (1964) (saya harap anda mengizinkan saya untuk tidak hanya menggunakan kutipan-kutipan ritual), memandang “orang-orang Muslim dengan penuh hormat, menyembah hanya pada satu Tuhan… yang telah berbicara kepada manusia”, maka gereja tersebut, hemat saya, harus juga menghormati –terlepas dari rasa malu– seseorang yang namanya tidak tercantum dalam deklarasi tadi, yang justru orang itulah yang membawa orang-orang Muslim menyembah Tuhan yang satu ini, maka sekali lagi, justru lewat dia, Muhammad, Sang Nabi, Tuhan ini “telah berbicara kepada manusia”. Tetapi bukankah pengakuan seperti itu mempunyai konsekuensi-konsekuensi suram dan menggelisahkan, khususnya karena pesan yang diproklamirkan oleh Muhammad dan tertera dalam al-Qur’an)
Catatan kaki:
1 Henricus Denzinger (ed. Adolfus Schonmetzer), Enchiridion symbolorum, Editio XXXIV (Freiburg: Verlag Herder KG, 1965), 714 (hal. 342).
2 Denzinger, op.cit. (1295, 1379).
Sebuah Model Dialog Kristen-Islam (2/3)
oleh Hans Kung
University of Tubingen, Tubingen, Jerman Barat
C. Al-Qur’an - Firman Tuhan?
Al-Qur’an lebih dari sekedar tradisi lisan yang bisa dengan mudah diubah. Ia adalah firman yang tertulis, yang diturunkan sekali untuk selamanya, sehingga dengan sendirinya tidak dapat diubah. Dalam hal ini ia sama dengan Bibel. Melalui keberadaannya yang direkam lewat tulisan, al-Qur’an memelihara suatu kekokohan luar biasa, kendati ada perubahan dan keanekaragaman sejarah Islam dari abad ke abad, dari generasi ke generasi, dari orang ke orang. Apa yang tertulis ya tertulis. Meskipun terdapat penafsiran-penafsiran dan ulasan-ulasan yang berbeda, meskipun terdapat bentuk-bentuk yang diambil oleh hukum Islam, syari’ah, al-Qur’an tetap sebagai sebutan yang sama (the common denominator), sesuatu seperti “benang hijau” Muhammad melintasi seluruh bentuk, ritual, dan lembaga-lembaga Islam. Orang yang ingin tahu baik mengenai Islam historis maupun Islam normatif, tidak dapat mengelak untuk kembali pada asalnya, yaitu al-Qur’an abad ke-7.
Meski al-Qur’an sama sekali tidak mentakdirkan (menetapkan terlebih dahulu) perkembangan Islam, ia secara paling pasti memberi inspirasi terhadap perkembangan Islam. Ia memasuki seluruh syari’ah, mencetak sistem legal (hukum) dan mistisisme, seni, dan segenap mentalitas. Para penafsir datang dan pergi, tapi al-Qur’an tetap utuh: ia satu-satunya yang paling konstan dalam Islam di antara variabel-variabel lain yang tak terhitung. Ia memperlengkapi Islam dengan kewajiban moral, dinamisme eksternal, dan kedalaman keagamaan, di samping ajaran-ajaran abadi dan prinsip-prinsip moral yang khas: tanggung jawab manusia di hadapan Tuhan, keadilan sosial dan solidaritas Muslim. Dengan begitu al-Qur’an adalah Kitab Suci Islam yang, sebagaimana dipahami dari bentuk tertulisnya, bukan firman manusia, melainkan firman Tuhan. Bagi orang-orang Muslim, oleh sebab itu, firman Tuhan dituliskan dalam sebuah kitab. Pertanyaan kita, betapa pun juga: Apakah kitab tersebut benar-benar firman Tuhan?
Selama berabad-abad, pertanyaan seperti ini dilarang diajukan. Baik orang-orang Muslim maupun orang-orang Kristen diancam pengucilan dengan segala konsekuensinya. Dan siapa yang mampu menolak bahwa pertanyaan tersebut telah menyebabkan perpecahan-perpecahan politik yang tajam di antara bangsa-banga di dunia, dari abad-abad pertama penaklukan Islam hingga Perang Salib dan perebutan Konstantinopel, hingga pengepungan Vienna dan revolusi Persia di bawah komando Khomeini? Sebagaimana biasanya, ketika orang-orang Muslim dari Afrika Barat sampai Asia tengah dan Indonesia memandang bahwa al-Qur’an adalah firman Tuhan dan mengorientasikan hidup serta mati mereka sesuai dengan al-Qur’an, orang-orang Kristen seluruh dunia mengatakan “tidak”. Malah bukan saja orang-orang Kristen, melainkan juga kemudian para sarjana agama Barat yang sekular, yang menganggap pasti bahwa al-Qur’an bukan firman Tuhan, tetapi sepenuhnya perkataan Muhammad.
Pada tahun 1962, seorang sarjana agama berkebangsaan Canada, Wilfred Cantwell Smith, menjadi orang pertama yang mengajukan pertanyaan tersebut di atas secara tajam, yang mengancam kedua belah pihak, dan membedah secara tepat bentuk pertanyaan itu sendiri.3 Kita tidak dapat melakukan apa-apa selain menyetujui pandangannya bahwa dua jawaban yang mungkin tersebut, yang keduanya cukup aneh, diajukan oleh orang-orang yang cerdas, kritis dan sepenuhnya jujur, sehingga tak perlu diragukan lagi dan telah menjadi dogmatic pre-conviction (pra-keyakinan dogmatis). Pada masing-masingnya, penafsiran yang berlawanan dianggap sebagai ketiadaan iman (kata orang-orang Muslim kepada orang-orang Kristen yang menolak al-Qur’an sebagai firman Tuhan) atau takhayul (kata orang-orang Kristen kepada orang-orang Muslim yang membenarkan al-Qur’an sebagai firman Tuhan).
Lalu, tidakkah benar, sebagaimana diklaim kolega Smith yang berkebangsaan Kanada, Willard Oxtoby, dalam menyusun suatu cara yang berdasarkan pengalaman, bahwa “you get out what you put in” (anda mengeluarkan apa yang anda simpan)? Dengan kata lain, tidakkah benar bahwa siapa pun yang menganggap al-Qur’an sebagai perkataan Tuhan sejak permulaan akan melihat berulang-ulang keyakinan-keyakinannya diteguhkan dengan membaca al-Qur’an, dan juga sebaliknya?
Tetapi dapatkah kita biarkan kontradiksi ini terus berjalan, biarpun untuk masa panjang hal tersebut sangat tidak memuaskan secara intelektual? Tidakkah terjadi pertambahan jumlah dari orang-orang Kristen dan bahkan mungkin orang-orang Muslim yang kemudian mendapat informasi lebih baik mengenai keimanan serta posisi orang lain, dan lalu membuat pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap diri sendiri? Saya akan mengulas secara singkat hal ini yang berkaitan dengan kedua posisi di atas:
a. Penyangsian kritis-diri terhadap pemahaman Kristen tentang wahyu. Bersamaan dengan semua pernyataan negatif mengenai cara-cara keliru, kegelapan, dan kesalahan dunia non-Kristen berikut seluruh seruan untuk bertobat, tidakkah juga kita dapatkan banyak pernyataan positif yang menyatakan bahwa Tuhan semula menampakkan diri-Nya kepada seluruh manusia? Sungguh, menurut Perjanjian Lama dan Baru, orang-orang non-Kristen juga bisa mengetahui Tuhan yang satu dan benar. Teks-teks ini sendiri menafsirkannya sebagai wahyu Tuhan dalam penciptaan.
Dengan memperhatikan latar belakang Biblikal, dapatkah kita meniadakan kemungkinan bahwa orang-orang yang tidak terhitung jumlahnya di masa lalu dan sekarang telah dan tengah mengalami misteri Tuhan, dengan mendasarkan diri pada wahyu Tuhan dalam penciptaan, dan semuanya ini pun melibatkan rahmat Tuhan dan keimanan manusia? Dan dapatkah kita meniadakan kemungkinan bahwa beberapa orang tertentu juga, dalam ikatan agama mereka, dianugerahi penglihatan khusus, diberi tugas khusus, karisma khusus? Dan dengan memperhatikan semua yang telah kita katakan, tidakkah hal itu semua bisa terjadi terhadap Muhammad, Sang Nabi? Extra ecclesiam gratia –ada juga rahmat di luar Gereja. Kalaulah memang begitu, jika kita mengenali Muhammad sebagai seorang nabi, maka agar konsisten kita pun harus mengakui bahwa bagi orang-orang Muslim segala sesuatu tergantung pada pesan Muhammad yang bukan buatannya sendiri, bukan firmannya sendiri, tetapi firman Tuhan. Akan tetapi apa yang dimaksud dengan Firman Tuhan dan dengan wahyu?
b. Penyangsian kritis terhadap penafsiran Islam tentang al-Qur’an. Apakah wahyu seperti yang sudah diduga turun secara langsung dari langit, diinspirasikan tanpa salah atau didiktekan kata per kata dari Tuhan? Perlu diingat bahwa tidak hanya orang-orang Muslim meyakini hal ini, melainkan juga beberapa orang Kristen, biasanya dalam hubungan dengan Bibel. Di sini kita telah sampai pada persoalan yang penting sekali.
Bagaimanapun seseorang ingin menyelesaikan persoalan Islam tentang asal al-Qur’an, saat ini adalah penting bahwa al-Qur’an sebagai firman Tuhan dipandang pada waktu yang sama sebagai perkataan nabi yang manusiawi. Pandangan ini juga diakui bersama oleh refleksi ilmiah Muslim (semisal karya seorang Pakistan, Fazlur Rahman). Jadi al-Qur’an menyodorkan problema yang sama dengan Bibel. Dengan kata lain, kita dihadapkan pada pertanyaan yang janggal tetapi tidak dapat dielakkan: apabila kita mempunyai kritik historis terhadap Bibel (untuk kepentingan keimanan Biblikal kontemporer), kenapa pula kita tidak mempunyai kritik historis terhadap al-Qur’an, dan hal itu untuk kepentingan keimanan Muslim yang cocok bagi masa modern? Ketimbang menafsirkan al-Qur’an sebagai sebuah kumpulan peribahasa yang tetap, ajaran-ajaran kaku, dan pernyataan-pernyataan yang tidak pernah berubah mengenai hukum yang (terlepas dari kesulitan-kesulitan nyata yang ada) dengan sangat merendahkan diri harus direproduksi dan secara harfiah ditafsirkan dalam segala hal, bahkan mengenai aturan-aturan hukum, kenapa kita tidak menerima al-Qur’an sebagai kesaksian kenabian yang tinggi terhadap Tuhan yang satu, Tuhan yang paling berkuasa dan pemurah, Pencipta dan Penyempurna, dan terhadap pengadilan serta janji-Nya?
Bagaimanapun juga, saya tidak bisa melangkah lebih jauh menuju persoalan-persoalan hermeneutis dalam makalah ini. Saya lebih baik kembali kepada persoalan-persoalan isi. Sebelum saya mengulangi lagi perbedaan-perbedaan teologis, akan saya kemukakan beberapa persoalan mendasar tentang persesuaian antara Islam dan Kristen menyangkut penafsiran keimanan, yang mana orang-orang Yahudi juga termasuk. Saya akan lakukan hal ini menurut baris-baris deklarasi Konsili Vatikan Kedua tentang agama-agama non-Kristen.
D. Apa Unsur-unsur Sama yang Utama?
Hal-hal yang sama di antara orang-orang Muslim, orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen dapat diringkas dalam empat aspek:
a. Hal sama yang mendasar di antara orang-orang Muslim, orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen terletak dalam keimanan kepada satu dan satu-satunya Tuhan, Tuhan yang memberikan makna dan hidup kepada segala sesuatu. Beriman kepada satu Tuhan bagi Islam adalah kebenaran prinsip yang ditegakkan sejak masa “Adam”. Kesatuan ras manusia dan persamaan semua bangsa di muka Tuhan didasarkan pada konsep keesaan Tuhan. Dan apa pun yang mungkin dikatakan menyangkut doktrin Kristen tentang Trinitas, hal tersebut tidak untuk mempertanyakan kepercayaan pada satu dan satu-satunya Tuhan, tetapi untuk memperjelasnya secara sempurna. Ini berarti bahwa dalam menghadapi politeisme kafir, Yahudi, Kristen dan Islam adalah sama sebagaimana ketiga agama semitik ini menghadapi banyaknya tuhan-tuhan modern yang mengancam memperbudak rakyat Yahudi dan sebagai akibatnya Kristen telah menyingkirkan tuhan-tuhan lama Panteon jauh sebelum Islam.
b. Orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim menyimpan kesamaan pandangan dalam beriman kepada Tuhan sejarah: kepada Tuhan yang bukan, sebagaimana diyakini orang-orang Yunani, hanya arche atau prinsip pertama alam, dasar dari segala sesuatu, tetapi yang bertindak sebagai Pencipta dunia dan manusia dalam sejarah, Tuhan Yang Esa dari Ibrahim yang berbicara melalui para nabi dan mewahyukan diri-Nya pada manusia, sekalipun terus-menerus urusan-Nya tetap menjadi rahasia yang tak terpecahkan. Dalam sejarah, Tuhan sepenuhnya transenden, tetapi pada saat yang sama juga imanen, lebih dekat daripada “urat nadi,” begitu kata perumpamaan plastik al-Qur’an, yang kemudian dikembangkan secara mendalam di dalam mistisisme Islam.
c. Orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim adalah satu pandangan dalam beriman kepada satu Tuhan yang –meskipun Ia gaib, mengatur dan menguasai segala sesuatu– adalah partner yang dapat didekati. Dia dapat disapa saat shalat dan meditasi, dipuji dalam senang dan rasa syukur, tempat mengadu dalam keadaan perlu dan keputusasaan: Tuhan bagi manusia yang “bersimpuh di tumit-Nya lantaran rasa hormat dan kagum”, “berdo’a dan berkurban”, “bermusik dan berjoget”, mengutip kata-kata berorientasi masa depan Martin Heidegger.
d. Akhirnya, orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim satu pandangan dalam beriman kepada Tuhan yang pemurah dan ramah, Tuhan yang menjaga manusia. Dalam al-Qur’an sebagaimana dalam Bibel, manusia dipandang sebagai “hamba Tuhan,” yang tidak mengekspresikan perbudakan manusia di bawah seorang yang lalim, melainkan sifat kemakhlukan manusia yang elementer dalam meresponsi Tuhan yang satu. Kata Arab al-Rahman, “Yang Maha Pengasih”, secara etimologis berhubungan dengan bahasa Ibrani (Hebrew, Yahudi) rahamim yang, bersama dengan hen dan hosed menjelaskan bidang semantik bagi kata charis dalam Perjanjian Baru, dan kata Inggris grace (gnade dalam bahasa jerman). Menurut bagian-bagian tersendiri dalam Bibel atau dalam al-Qur’an, Tuhan bisa menampilkan diri sebagai Tuhan yang tidak dapat diduga, namun menurut keseluruhan kesaksian Bibel dan al-Qur’an, Tuhan adalah Tuhan pengasih dan pemurah.
Bersama-sama di dunia ini, Yahudi, Kristen dan Islam dengan demikian mencerminkan keimanan kepada satu Tuhan; semuanya berbagi dalam satu gerakan dunia monoteistik yang besar. Secara politis, keimanan kepada satu Tuhan ini seharusnya tidak dianggap sepele; harus dijadikan perhatian manusia. Misalnya, sebagaimana keimanan ini telah memainkan peran dalam perjanjian Camp David, tentunya ia pun penting untuk upaya-upaya perdamaian selanjutnya di Timur Tengah. Maka jangan sekali-kali kita lupakan keimanan ini tatkala kita mendekati persoalan-persoalan teologis yang rumit, khususnya persoalan-persoalan mengenai Yesus dari Nazareth, Kristus orang-orang Kristen.
E. Apakah Penggambaran al-Qur’an tentang Yesus Tepat?
Sangat masyhur diketahui bahwa dalam beberapa hal al-Qur’an membicarakan Yesus dari Nazareth, dan selalu dengan nada positif. Ini mengherankan ketika seseorang memandang sejarah berabad-abad yang dipenuhi kebencian dan kutukan antara Kristen dan Islam. Bagaimana kita bisa menilai bagian-bagian ini secara teologis? Suatu penyelidikan yang lebih teliti terhadap “teks-teks al-Qur’an yang relevan dengan Kristen”, yang diterjemah-ulang dan dijelaskan secara rinci oleh Claus Schedel di bawah judul Muhammad und Jesus, menunjukkan bahwa semua bahan yang berkaitan dengan Yesus di dalam al-Qur’an terintegrasi (terpadu) dengan suatu cara yang sepenuhnya koheren secara utuh ke dalam seluruh konsepsi teologis al-Qur’an. Dari tradisi apa pun kesaksian tentang Yesus ini berasal –dan kita akan menjelaskannya lebih dekat lagi– seluruhnya secara menyolok dipenuhi dengan pengalaman profetik hebat Muhammad dengan Tuhan Yang Esa. Dengan alasan ini, Muhammad tidak mempunyai alasan apa pun untuk menyangkal Yesus: Seruan Yesus adalah juga seruan Muhammad. Persoalan virgin birth (kelahiran Yesus dari seorang perawan) dan mu’jizat-mu’jizat diakui al-Qur’an tanpa iri hati, dengan satu pengecualian: Yesus tidak mungkin dibuat menjadi tuhan, dan tidak mungkin diletakkan berdampingan dengan Tuhan yang esa sebagai seorang (tuhan) yang kedua. Bagi Islam, itu adalah sesuatu yang paling dibenci.
Posisi Yesus dalam al-Qur’an tidak ambigius (tidak meragukan). Dialog oleh karenanya tidak didukung secara efektif oleh orang-orang Kristen bermaksud baik masa kini yang lebih menafsirkan al-Qur’an ketimbang apa yang dikandungnya, yang mengklaim bahwa dalam al-Qur’an Yesus adalah firman Tuhan. Tetapi bukan Firman Tuhan dalam pengertian pada prolog Injil Yohanes, dimana logos ketuhanan yang pra-eksisten menjadi daging. Adapun mengenal virgin birth (kelahiran Yesus dari seorang perawan) dalam al-Qur’an, itu adalah tanda kemahakuasaan Tuhan, bukan justru karena ketuhanan Yesus. Dengan kata lain, menurut al-Qur’an Yesus adalah seorang nabi, seorang nabi yang lebih besar daripada Ibrahim, Nuh dan Mus a –tetapi tentu saja tidak lebih daripada seorang nabi. Dan persis seperti diterangkan dalam Perjanjian Baru, Yohanes (Yahya) sang Pembaptis adalah pendahulu (pratanda) Yesus, begitupun dalam al-Qur’an Yesus adalah pendahulu (pratanda), dan tidak diragukan contoh yang memberi dorongan bagi, Muhammad. Menurut al-Qur’an Yesus diciptakan langsung dari Tuhan sebagai Adam kedua (inilah sebenarnya arti virgin birth tersebut), tak seperti Muhammad. Yesus adalah, oleh karena itu, ciptaan Tuhan yang paling hebat.
Karena alasan ini, orang-orang Kristen harus menyingkirkan keinginan untuk membuat “orang-orang Kristen anonim” dari Muhammad dan orang-orang Muslim, sebagaimana beberapa teolog, menentang keseluruhan konsepsi orang-orang Muslim tentang diri mereka sendiri, sekali-sekali berusaha melakukan itu. Pada gilirannya hal ini akan dengan segera memunculkan pertanyaan apakah orang-orang Muslim harus menciptakan “seorang Muslim anonim” dari Kristus. Apabila kita yang mewakili Kristen peduli terhadap penilaian kembali Muhammad berdasarkan sumber-sumber Islam, khususnya al-Qur’an, kita juga berharap suatu hari ada kesiapan Islam untuk memulai penilaian kembali Yesus dari Nazareth berdasarkan sumber-sumber sejarah yang ada, berdasarkan Injil-Injil itu sendiri-sebagaimana yang telah dilakukan banyak orang dalam Yahudi. Potret Yesus dalam al-Qur’an terlalu berat sebelah, terlalu monoton, dan untuk sebagian besar kekurangan dalam isi, terlepas dari monoteisme, seruan untuk bertobat, dan berbagai cerita tentang mu’jizat-mu’jizat. Pokoknya, ini berbeda sekali dengan potret Yesus dalam sejarah, yang tidak saja menegakkan hukum, seperti direkam al-Qur’an, tetapi cenderung menentang seluruh legalisme dengan cinta radikal yang bahkan meluas untuk musuh-musuhnya sekalipun. Itulah sebabnya kenapa ia dieksekusi, walaupun Qur’an gagal mengakui hal ini. Dalam hal ini, perbedaan-perbedaan substansial muncul antara Yesus dan Muhammad. Keliru besar menganggap sepi hal-hal ini. Walau begitu, hambatan teologis utama terhadap sebuah pemahaman tidaklah untuk ditemukan di sini.
F. Apa Perbedaan Teologis Utama?
Perhatian utama Yesus sendiri adalah mengatasi legalisme dengan cara melaksanakan kehendak Tuhan dengan cinta, dengan mengingat kedatangan Kerajaan (Tuhan). Bagi gereja Kristen, perhatian utama secara perlahan dialihkan untuk sebagian besar kepada pribadi Yesus dan hubungannya dengan Tuhan. Perdebatan antara Kristen dan Islam kemudian tetap sepenuhnya terfokus pada masalah ini. Hingga sekarang keberatan Kristen terhadap Islam terletak pada bantahan Islam terhadap dua doktrin utama Kristen yang saling berkelindan: Trinitas dan inkarnasi. Sebenarnya, al-Qur’an berbicara kepada orang-orang Kristen sebagai berikut:
Wahai Ahl al-Kitab, janganlah kamu melampaui batas-batas agamamu. jangan katakan apa-apa tentang Allah kecuali yang benar. Al-Masih, Yesus putra Maria, tidak lebih dari rasul Allah dan Firman-Nya yang Dia sampaikan kepada Maria: ruh dari-Nya. Maka berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan jangan katakan (tentang Allah, bahwa Dia adalah) tiga (dalam satu). Sesungguhnya Allah adalah Tuhan Yang Esa. Maha Suci Allah dari mempunyai seorang anak. (Q.S. al-Nisa/4: 171)
Apakah kenyatannya kita di sini telah, terlepas dari anggapan bahwa kita memiliki faktor-faktor yang sama dalam memahami Tuhan dan kemanusiaan, menjadi macet dalam berdialog? Tentu saja tak ada kebenaran di dalam pernyataan apologis-apologis Kristen dan banyak sarjana agama bahwa para teolog Muslim selalu keliru menafsirkan doktrin Kristen tentang Trinitas (tiga dalam satu) sebagai doktrin triteisme (tiga tuhan). (Al-Qur’an memang memuat tradisi yang keliru, boleh jadi didasarkan pada apokripa (tulisan-tulisan yang diragukan pengarangnya) tertentu, bahwa Trinitas terdiri dari Tuhan Bapak, Maria Ibu Tuhan, dan Yesus Anak Tuhan). Orang-orang Muslim semata-mata tidak dapat memahami apa yang juga selalu gagal dipahami oleh orang-orang Yahudi: bahwa kalau ada satu Ketuhanan, satu tabiat ilahi, maka mana mungkin ada asumsi tentang tiga pribadi dalam satu Tuhan yang secara otomatis tidak akan melepaskan keimanan pada satu Tuhan yang dianut Ibrahim, yang dipegang teguh oleh Musa, Yesus dan akhirnya Muhammad. Mengapa ada pula perbedaan antara tabiat dan pribadi dalam Tuhan?
Jelas bahwa perbedaan antara satu dan tiga yang dibuat oleh doktrin Kristen tentang Trinitas tidak memuaskan orang Muslim. Seluruh konsep yang berasal dari Syria, Yunani dan Latin ini lebih memusingkan ketimbang mencerahkan bagi orang Muslim, suatu permainan kata-kata dan konsep-konsep. Bagaimana mungkin satu dan satu-satunya Tuhan, tanya orang Muslim, menjadi suatu pencampuran hipostasis-hipostasis, pribadi-pribadi, prosesi-prosesi dan relasi-relasi? Kenapa semuanya menjadi trik-trik dialektis? Tidakkah Tuhan hanya Tuhan, yang tidak digabung dengan cara begini atau begitu?
Menurut al-Qur’an, “orang-orang tidak beriman adalah mereka yang mengatakan, Allah adalah salah satu dari tiga (atau berfaset-tiga dalam trinitas).” Pandangan ini, yang mentah-mentah tidak diterima Muhammad, bulat-bulat ditolak dengan pernyataan, “Tidak ada tuhan selain Tuhan Yang Esa”. (Q., s. al-Maidah/5:73).
Catatan kaki:
3 Wilfred Cantwell Smith, “Is the Qur’an the Word of God?,” dalam Questions of Religious Truth (New York: Charies Schribner’s Sons; and London: V. Gollanez Ltd.,1967).
Sebuah Model Dialog Kristen-Islam (3/3)
oleh Hans Kung
University of Tubingen, Tubingen, Jerman Barat
G. Bagaimana Kita Menilai Perbedaan-perbedaan Teologis Utama?
Yang berlaku bagi doktrin Trinitas berlaku juga bagi Kristologi. Jika orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim saat ini ingin mencapai pemahaman lebih baik, mereka harus kembali kepada asal-usul dengan mengambil sebuah sudut pandangan kritis terhadap seluruh perkembangan kemudian. Pada titik asal-usul, kita –yakni orang-orang Yahudi, orang-orang, Kristen dan orang-orang Muslim– satu sama lain lebih dekat.
Penelitian ilmiah terhadap Perjanjian Baru mengakui betapa besar kesenjangan antara pernyataan-pernyataan orisinal yang menyangkut Bapak, Anak dan Roh dan doktrin gerejawi tentang Trinitas yang didogmatisasi kemudian, juga betapa konsepsi-konsepsi Kristologis Perjanjian Baru berbeda satu sama lain.
Sementara misalnya kemudian, Injil Yohanes yang terpengaruhi secara Hellenistik mengutip Yesus ketika berbicara kemuliaan bahwa ia telah bersama Tuhan sebelum dunia mulai (17: 5), yang oleh para penafsir konservatif tidak dianggap sebagai kata-kata historis Yesus, Injil (-Injil) pertama tidak mengetahui apa-apa tentang seluruh virgin birth. Dan sementara dengan cerita bersemangat Injil Yohanes menggambarkan Yesus hampir secara berlebihan sebagai “seperti-tuhan” ketika ia mengembara di bumi, Injil-Injil sinoptik masih menampilkan Yesus sebagai Anak Manusia sepenuhnya yang melaluinya Tuhan bertindak. Para penafsir menunjukkan khususnya kepada monolog-monolog Kisah Para Rasul yang di dalamnya Lukas menggunakan bahan dari suatu tradisi lama yang menempatkan Yesus secara total lebih rendah dari Tuhan. Jelas Yesus dibicarakan sebagai hamba Tuhan, al-Masih, Kristus Tuhan, pilihan Tuhan: Tuhan bertindak melaluinya, Tuhan bersamanya; ia dibunuh sesuai rencana Tuhan, tetapi Tuhan mengangkatnya dari antara orang mati dan membuatnya menjadi Tuhan dan Kristus, menunjuknya sebagai Anak Tuhan. Tidakkah seluruh pernyataan Lukas ini, yang diwarnai perspektif “pungutan”, masih punya tempat di dalam kerangka keimanan Yahudi dan Islam yang keras kepada satu Tuhan? Sampai sekarang, ini adalah keimanan orang-orang Kristen, orang-orang Kristen (yang) Yahudi.
Sungguh memalukan tiada terkira bahwa, menyusul penghancuran Yerusalem di bawah Kaisar Hadrianus pada tahun 132 dan mengungsinya orang-orang Kristen Yahudi ke timur, Gereja yang berkembang hampir secara sempurna tercabut dari tanah Yahudi. Gereja yang awalnya dipadati orang-orang Yahudi menjadi Gereja orang-orang Yahudi dan Gentiles (orang-orang non-Yahudi), dan ia kemudian menjadi Gereja Gentiles (Hellenistik). Orang-orang Kristen Yahudi yang tidak turut serta dalam pengembangan gereja Hellenistik dengan Kristologinya yang semakin eksesif ditolak sebagai pembuat bid’ah, seperti kasus orang-orang Ebioni, yang menerima kelahiran Yesus dari Perawan Suci menurut sejarawan gereja Eusebius tetapi menolak gagasan tentang pra-eksistensinya –sebagaimana ditolak oleh al-Qur’an.
Penelitian kami ini sekali lagi tidak dimaksudkan mencoba menelusuri jejak Islam kembali kepada Yahudi atau Kristen. Sebagai gantinya, kami berusaha keras melihat Islam secara sungguh-sungguh sebagai bentuk tantangan yang diperbarui bagi orang-orang Kristen, karena sejak masa Yohanes (Yahya) dari Damaskus, yang menyangkal Islam sebagai suatu “bid’ah Kristen”, karena Islam mengingatkan orang-orang Kristen pada masa lampau Kristen Yahudi mereka sendiri. Di sini tampaknya kita mempunyai contoh penting interdependensi dan interaksi antara gerakan-gerakan agama yang berbeda dalam persoalan kemanusiaan, sebagaimana ditekankan khususnya oleh W. C. Smith. Dalam bukunya Korankunde fur Christen, Paul Schwarzenau adalah benar ketika mengatakan bahwa “adalah unsur Yahudi dalam pesan Kristen yang secara pasti memperlihatkan al-Qur’an beruntung. Orang-orang Kristen-Yahudi yang ingkar [terhadap unsur Yahudi tadi –pen] sekali lagi tampil ke muka”.4 Schwarzenau menggunakan analisis cerdas ahli tafsir besar Protestan, Adolf Schlatter, yang menganalisis di awal 1926 hubungan-hubungan antara Kristen Gentile, Kristen Yahudi, dan Islam dalam buku Die Geschichte der ersten Christenheit:
Gereja Yahudi, bagaimanapun juga, mati hanya di Palestina bagian barat, Yordania. Komunitas-komunitas Kristen dengan praktek Yahudi, pada sisi lain, berlanjut ada di daerah-daerah bagian timur, di Decapolis, di Batanea, di antara orang-orang Nabatia, di tepi gurun Syria dan ke Arabia, mereka benar-benar terputus sama sekali dari sisa Umat Kristen dan tanpa persahabatan dengan sisa [Umat Kristen tersebut] … Bagi orang Kristen, orang Yahudi semata-mata musuh, dan akhirnya pandangan Yunani pun –yang melihat sebelah mata kepada pembunuhan oleh jenderal-jenderal Troya dan Hadrianus dan kepada takdir orang-orang Yahudi jahat dan merendahkan– mencapai Gereja. Bahkan orang-orang terkemuka Kristen seperti Origen dan Eusebius, dengan sangat mencengangkan tidak peduli pada kehancuran Yerusalem dan gereja di sana. Demikian pula informasi yang mereka tinggalkan untuk kita mengenai gereja Yahudi dalam keberadaannya yang kemudian hanya sedikit. Mereka, orang-orang Kristen Yahudi [sic] adalah pembawa bid’ah lantaran tidak tunduk pada hukum yang berlaku bagi Umat Kristen yang lain dan karena itu mereka pun terceraikan dari Umat Kristen yang lain itu. Tak satu pun dari para pemimpin gereja Kekaisaran mengira bahwa Umat Kristen yang mereka anggap rendah itu suatu saat akan menyaksikan betapa kehadirannya akan mengguncangkan dunia dan membelah-belah wilayah gereja yang telah mereka bangun. Saat itu pun tiba, yaitu ketika Muhammad mengambil alih kekayaan yang dikembangkan oleh orang-orang Kristen Yahudi, kesadaran mereka terhadap Tuhan, eskatologi mereka dengan pernyataannya tentang Hari Pengadilan, adat dan legenda-legenda mereka, dan ketika Muhammad memulai kerasulan baru sebagai orang yang dikirim Tuhan.5
Lalu, apakah Muhammad, kata Schlatter, adalah seorang “rasul Judaeo Kristen” berbaju Arab? Ini merupakan bagian pandangan mencengangkan, yang oleh Schlatter secara kebetulan diperkuat lebih mendalam di awal 1918 lewat sebuah esei berjudul “Die Entwicklung des judischen Christentums zum Islam.”6 Bagaimanapun, bahkan empat puluh tahun sebelum Schlatter, Adolf von Harnack telah memperhatikan efek terluas dari Kristen Yahudi terhadap Islam, atau secara lebih tepat Kristen Yahudi Gnostik, dan khususnya orang-orang Elkesi, terlepas dari keimanan mereka, yang mempertahankan monoteisme keras dan menolak ajaran gerejawi tentang hipostasis dan Anak Tuhan. Ini terdokumentasi di dalam sejarah dogmatika Harnack.
Mengingat keadaan penelitian sekarang ini, segala ketergantungan langsung Islam apa saja yang dibuktikan lewat bahan-bahan asal akan terus menjadi perdebatan, tetapi analogi-analoginya senantiasa mengagumkan. Muhammad menolak Kristologi Anak Tuhan (monofisitik) yang sangat ortodoks, tapi menerima Yesus sebagai rasul yang besar, sebagai al-Masih yang membawa Injil. Sarjana Yahudi Hans-Joachim Schoeps dengan benar mengatakan dalam Theologie und Geschichte des Jundenchristentums (Tubingen, 1949) bahwa
Walaupun tidak mungkin membuktikan hubungan yang pasti sekali, tentu saja ada hal yang tidak dapat diragukan tentang ketergantungan langsung Muhammad pada Kristen Yahudi sektarian. Dengan demikian fakta bahwa Kristen Yahudi telah lenyap dari Gereja tetapi terpelihara di dalam Islam dan berlanjut bahkan hingga saat ini di dalam beberapa gerakan hati Islam yang utama, merupakan sebuah paradoks yang luar biasa besar dalam sejarah dunia.7
Cukup mengherankan, bagian-bagian pandangan historis ini hampir tidak diketahui dalam teologi Kristen sampai sekarang ini, apalagi diterima dengan sungguh-sungguh. Banyak yang perlu diteliti dalam hal ini, seperti sejarah sepupu istri Muhammad (sepupu Khadijah), Waraqah, yang sebagai seorang Kristen (yang hampir tidak kena pengaruh Yunani) menarik perhatian Muhammad mula-mula kepada hubungan antara pengalaman-pengalaman wahyu Muhammad dan pengalaman-pengalaman wahyu Musa. Dengan kemungkinan seperti itu, siapa yang bisa mengabaikan kenyataan bahwa di sini terdapat kemungkinan-kemungkinan tak terbayangkan bagi dialog segitiga yang sangat penting, “trialog”, antara orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim? Apa pun keputusan menyangkut persoalan ketergantungan genetik, dalam interpretasi Muhammad tentang Yesus, tradisi-tradisi Kristen Yahudi yang dihapuskan, disingkirkan dan dilupakan di dalam gereja Hellenistik muncul kembali dalam sejarah; dan Kristen Yahudi ini untuk sebagiannya telah mempertahankan perhatian Yahudi yang utama terhadap Kristen awal.
Harus dilupakan bahwa dalam perjuangannya untuk tetap bertahan menolak politeisme Arab kuno, yang meyakini Allah mempunyai anak-anak lelaki dan perempuan yang semuanya dapat dibayangkan, Muhammad tidak mempunyai pilihan selain menolak istilah “Anak Tuhan.” Pada saat yang sama, betapapun juga, Muhammad mengambil cerita Yesus sebagaimana yang beredar saat itu di Arab dan memberinya arti dari pikirannya sendiri. Apa yang terjadi begitu sering di dalam Bibel sekarang terjadi juga di dalam al-Qur’an: suatu tradisi tua tidak semata-mata diteruskan, tetapi ditafsirkan agar relevan dengan sudut pandang pengalaman kontemporer. Ini pula yang terjadi dengan Perjanjian Baru. Persis seperti orang-orang Kristen telah menggunakan banyak ungkapan (”kenabian-kenabian”) Perjanjian Lama untuk merujuk pada Yesus, walaupun ungkapan-ungkapan tersebut dimaksudkan untuk arti yang berbeda, maka Muhammad pun menggunakan banyak hal yang telah ia dengar tentang Yesus untuk merujuk pada dirinya sendiri. Bagi Muhammad, kebesaran Yesus disebabkan oleh kenyataan bahwa di dalam dan melalui diri Yesus sebagai hamba Tuhan, Tuhan sendiri telah berkarya. Dengan demikian, “Kristologi” Muhammad tidak terlalu jauh bergeser dari Kristologi gereja Kristen Yahudi. Apa konsekuensi-konsekuensi dari semua penemuan baru ini?
H. Apa yang Harus Kita Katakan?
Kita dihadapkan pada suatu problema momen yang luar biasa, konsekuensi-konsekuensi yang belum tampak. Melihat bahwa penemuan-penemuan tafsir dan sejarah yang telah kami urai di atas adalah akurat dan dapat dijelaskan lebih jauh lagi, maka penemuan-penemuan tersebut merupakan tantangan bagi kedua belah pihak untuk menghentikan berpikir perihal alternatif-alternatif, Yesus atau Muhammad. Sebaliknya kedua belah pihak harus berpikir mengenai sintesis Yesus dan Muhammad, terlepas dari semua keterbatasan dan perbedaan. Muhammad bertindak sebagai saksi bagi Yesus, bukan bagi seorang Yesus sebagaimana yang dapat dipandang oleh orang-orang Kristen non-Yahudi Hellenistik, tapi bagi seorang Yesus sebagaimana dipandang oleh murid-murid pertamanya, yang adalah orang-orang Yahudi seperti Yesus itu sendiri. Untuk menghindari kesalahpahaman sejak permulaan dalam mendekati masalah ini, yang sangat sulit bagi orang-orang Muslim dan orang-orang Kristen, kita harus memperhatikan hal berikut. Sebagai seorang Kristen non-Yahudi Eropa, saya dapat sepenuhnya memahami perkembangan Hellenistik dari Kristologi dan dapat menerima kebenaran konsili-konsili Kristologis besar dari Nicaea hingga Khalcedon: dipandang dari sudut Perjanjian Baru, maksud-maksud dan isi konsili-konsili tersebut tentu saja bisa diperkokoh. Saya tidak percaya bahwa seorang Kristen hari ini dapat atau harus secara naif memulai lagi semuanya dan menjadi seorang Kristen Yahudi, katakanlah begitu. Tetapi dalam konteks ekumenis (dalam hubungan dengan orang-orang Muslim dan orang-orang Yahudi), saya dibayangi sebuah pertanyaan, bagaimana saya dapat membuat seorang Muslim (atau seorang Yahudi) memahami kenapa orang-orang Kristen mempercayai Yesus sebagai Kristus, Firman dan wahyu Tuhan? Yang menjadi niat saya kini, saya mempunyai hak penuh menarik perhatian kepada pilihan Kristologis yang orisinal dan sepenuhnya sah yang, walaupun ditepikan dan disembunyikan, dimulai didalam komunitas gereja Kristen Yahudi paling tertua dan diteruskan selama berabad-abad oleh komunitas-komunitas gereja Kristen Yahudi yang terpencar-pencar dari timur Yordania hingga Arabia, dan dengan demikian pada akhirnya beralih kepada Muhammad. Saya juga masih bertanya-tanya apakah mungkin terdapat kategori yang sudah ada yang dengan lebih mudah memungkinkan orang-orang Yahudi dan orang-orang Muslim mengerti Yesus ini sebagai wahyu Tuhan daripada sebagai ajaran Helienistik tentang dua tabiat, yang ilahi dan yang manusiawi dalam pribadi ilahi yang satu. Lalu, bagaimana seorang Muslim, mungkin dengan melihat dari suatu perspektif ekumenis seperti itu, mencoba melihat Yesus ini, dan demikian juga bagaimana seorang Kristen mungkin melihat Muhammad?
a. Dengan cara apa orang-orang Muslim dapat memandang Yesus? Saya akan meringkas pikiran-pikiran saya di sini secara sangat singkat:
Orang-orang Muslim melihat Yesus sebagai nabi besar dan utusan Tuhan Yang Esa, sosok yang secara khusus diangkat untuk menjadi “Hamba Tuhan” oleh Tuhan sendiri, sejak dari kelahirannya hingga pemuliaannya ke hadirat Tuhan-orang yang, bersama dengan pesan yang ia sampaikan adalah penting selama-lamanya bagi Muhammad. Tentu saja bagi orang-orang Muslim, Muhammad dan al-Qur’an yang diterimanya akan tetap menjadi, seperti sebelumnya, petunjuk yang menentukan bagi keimanan dan tingkah laku, kehidupan dan kematian. Betapapun juga, jika di dalam al-Qur’an Yesus diistilahkan sebagai “Firman” Tuhan dan pembawa “Injil”, bukankah orang-orang Muslim harus mencoba memperoleh suatu pemahaman lebih luas tentang Injil ini dan menerimanya secara sungguh-sungguh? Hukum Islam, yang kerap dicirikan oleh penindasan, dari perspektif pesan dan tingkah laku Yesus, dapat dilihat dalam suatu pengetahuan yang lebih relatif (berkaitan), demi Tuhan dan kemanusiaan. Dan manusia, meski tidak terbebas dari hukum itu sendiri, akan terbebas dari legalisme –sama halnya dengan kasus orang-orang Kristen Yahudi.
Dengan cara ini, akan diperoleh suatu pemahaman baru dan lebih mendalam tentang Tuhan yang mencintai dan menderita bersama rakyat, yang mempertimbangkan kehidupan Yesus, kematiannya –yang tidak bisa ditolak– dan kehidupan barunya. Maka kematian Yesus atas nama Tuhan ini dapat memberikan makna penderitaan dan kegagalan, dan tidak mempunyai arti apa-apa bila dipahami di permukaan saja.
b. Dengan cara apa orang-orang Kristen dapat memandang Muhammad? Banyak orang Kristen dengan jelas memandangnya sebagai nabi yang penting bagi banyak bangsa di bumi, seorang yang telah diberkahi dengan kesuksesan yang luar biasa seumur hidupnya.
Tentu saja bagi orang-orang Kristen, Yesus Kristus dan berita baik yang ia sampaikan merupakan ukuran yang menentukan bagi keimanan dan tingkah laku, hidup dan mati, Firman Tuhan yang definitif (Ibrani 1:1ff). Oleh sebab itu, Kristus adalah dan tetap merupakan faktor pengatur yang menentukan bagi orang-orang Kristen, demi Tuhan dan kemanusiaan. Bagaimanapun juga, tidakkah orang-orang Kristen harus, sesuai dengan ajaran Perjanjian Baru bahwa mereka masih mengakui kehadiran nabi-nabi bahkan setelah Kristus, menerima Muhammad ini, yang mengambil tradisi Kristen Yahudi, dan nasihat-nasihatnya dengan lebih sungguh-sungguh? Hal ini tak lain agar:
• Tuhan yang tak terbandingkan dan yang esa ditempatkan sepenuhnya di pusat keimanan;
• persekutuan tuhan-tuhan lain adalah mustahil;
• iman dan hidup, ortodoksi dan ortopraksis bersama-sama bahkan menjadi bagian politik.
Oleh karenanya, Muhammad akan berulang-ulang memberikan koreksi profetik kepada orang-orang Kristen atas nama Tuhan yang esa dan sama; “Aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan” (Q., s. 46:9)
Saya bertanya-tanya kepada diri sendiri: Jika seorang Muslim atau Yahudi dapat diharapkan mengakui Konsili-konsili Hellenis dari Nicea hingga Khalcedon, apa yang akan dilakukan oleh Yesus dari Nazareth, orang Yahudi? Pertanyaan ini penting tidak hanya terbatas untuk seorang Kristen Arab saja, melainkan juga bagi seorang Kristen Afrika, India, Indonesia, Cina atau jepang.
Akhirnya –dan akan saya tutup di sini– Islam dan Kristen terlibat dalam sebuah keputusan keimanan yang harus diciptakan secara rasional dan bertanggungjawab baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Sebagai seorang Kristen saya bisa yakin bahwa, sejauh saya telah memilih Yesus ini sebagai Kristus untuk hidup dan mati saya, saya juga telah memilih pengikutnya, yaitu Muhammad, lantaran Muhammad juga berseru kepada Tuhan yang sama dan satu, dan kepada Yesus.
Di dalam buku pedoman anjuran-anjuran bermanfaat yang dipesan oleh Gereja Protestan di Jerman yang berjudul Christen and Muslime im Gespruch (diterbitkan oleh J. Micksch dan M. Mildenberger,1982), perhatian diminta dengan adil, paling tidak secara singkat, untuk hubungan yang mungkin antara Islam dan Kristen Yahudi:
Hal yang paling penting ialah bahwa orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim tinggal di dunia yang sama dan harus membuktikan keimanan mereka. Mereka tidak selalu bereaksi dengan cara yang sama terhadap seluruh tantangan dunia ini. Walau pun begitu, terlepas dari semua perbedaan, orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim diwajibkan oleh keimanan mereka hidup dengan tanggung jawab di hadapan Tuhan dan melayani masyarakat manusia. Dengan penuh penghormatan satu sama lain, mereka tidak boleh gagal untuk saling memberikan bukti keimanan mereka satu sama lain (edisi Jerman hal.12ff.).
Catatan kaki:
4 Paul Schwarzenau, Korankunde fur Christen (Stuttgart: Kreuz-Verlag, 1982), hal.124.
5 Adolf Schlatter, Die Geschichte der ersten Christenheit (Stuttgart: Calwer Verlag, 1983; edisi pertana Aufl. Gutersloh, 1926), hal. 376-77 (terj.)
6 Adolf Schlatter, “Die Entwicklung des judischen Christentums zum Islam,” Eyangelisches Missionsmagazin, N.S. LXII (1918), 251-64.
7 Hans-Joachim Schoeps, Theologie and Geschichte des Jundenchristentums (Tubingen: Mohr, 1949), hal. 342.

Jurnal Pemikiran Islam PARAMADINA
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

0 komentar: