Sunday, August 12, 2007

KONTRADIKSI ANTARA TAFSIR BIL MA’TSUR DENGAN BIR RA’YI



KONTRADIKSI ANTARA TAFSIR BIL MA’TSUR DENGAN BIR RA’YI
Oleh: DR MAHMUD BASUNI FAUDAH

Kontradiksi artinya: saling berhadap-hadapan dan saling meniadakan. Salah satu pihak mengatakan “ya” dan pihak yang lain mengatakan “tidak”. Dimana kedua macam kehendak tersebut tidak mungkin bisa dipertemukan, seolah-olah yang satu merintangi jalan bagi yang lain. Adapun jika keduanya tidak bertentangan, hingga mungkin bisa dipertemukan/disepakatkan, maka hal itu bukanlah kontradiksi namanya, meskipun kedua berbeda-beda satu dari yang lain. Seperti misalnya tafsir tentang ungkapan “shirathal mustaqim”, yang melibatkan berbagai macam pendapat, tetapi yang satu sama lain tidaklah bertentangan.
Sesungguhnya gambaran rasional mengenai pertentangan di antara tafsir naqli dan aqli adalah sebagai berikut:
1.Tafsir yang aqli bersifat qath’iy (desisif, tegas, final) dan tafsir yang naqli juga bersifat qath’iy.
2.Salah satu di antara keduanya ada yang bersifat qath’iy, sementara yang lain zhanni (hipotesa, dugaan).
3.Kedua-duanya sama-sama bersifat zhanni.
Adapun gambaran yang pertama adalah gambaran yang hipotetis semata-mata, yang tidak didukung bukti. Dimana sesungguhnya tidak dapat dimengerti atau tidak, masuk akal adanya pertentangan antara dalil aqli yang qath’iy dengan dalil naqli yang bersifat qath’iy pula. Suatu kepastian yang datang dari Tuhan (naqli) tidak mungkin bertentangan dengan kepastian rasional (aqli).
Adapun dalam gambaran kedua, maka tafsiran yang bersifat qath’iy di antara keduanyalah yang harus didahulukan dari pada yang bersifat zhanni, jika keduanya memang tidak dapat dipersatukan. Hendaklah kita mengambil mana yang lebih rajih (kuat) dan mengamalkan dalil yang lebih kuat.
Adapun gambaran yang ketiga, yaitu jika kedua-duanya bersifat zhanni, maka jika keduanya mungkin dipersatukan, hendaklah dipersatukan. Dan jika keduanya tidak mungkin dipertemukan maka hendaklah didahulukan atsar-atsar yan datang dari Nabi dan para sahabatnya yang terkemuka, jika atsar tersebut dapat dikauatkan kesahihan jalan periwayatannya (isnad). Adapun jika atsar tersebut diperoleh dari tabi’in dan jika tabi’in tersebut dikenal sebagai tabi’in yang suak mengambil riwayat dari kaum ahli kitab, maka hendaklah didahululkan tafsir yang bersifat aqli. Tapi apabila tabi’in tersebut tidak dikenal sebagai orang yang suka mengambil riwayat-riwayat dari ahli kitab, namun ternyata atsar yang diambil darinya bertolak belakang dnegan tafsir aqli, maka hendaklah mufassir melakukan tarjih (pertimbangan untuk menentukan mana yang lebih kuat). Jika salah satu dari keduanya diperkuat dengan riwayat-riwayat yang didengar atau dengan istidlal (pengambilan dalil), maka hendaklah mufassir menganggap lebih kuat dari yang lain. Adapun apabila dalil-dalil dan kesaksian-kesaksian yang mendukung keduanya itu saling bertolak belakang, maka hendaklah mufassir berhenti saja dalam perkara tersebut dan beriman saja kepada kehendak Allah Ta’ala dan tidak terus mengejar penafsirannya. Masukkan saja ayat yang bersangkutan ke kelompok ayat-ayat yang mujmal dan mutasyabih sebelum diperoleh penjelasannya.

0 komentar: